CERPEN
Bawi
Si Tabir Mimpi
Oleh : Sintia NA
Matahari
siap menuju peraduannya. Langit berubah menjadi orange. Orang-orang berkerumun,
berdesak-desakan. Debu berhamburan tak tentu arah, pintu-pintu bilik dibanting
tidak berperasaan.
Sedangkan
dalang dari segala kehebohan menatap angkuh ke depan menyapu pandangan
“Apa
kita benar-benar harus bermain di sini?” Dia mendecih. Temannya memotar bola
mata jengah.
“Menurutmu?
Ayolah. Kau tidak melihat jika ular-ular kita sudah siap ingin bermain?”
Dua
laki-laki berpakaian hitam-hitam dengan topi kain yang melilit kepala mereka
itu bersila di tengah kerumunan. Memainkan suling digengaman, ke kiri kekanan
dengan mata terpejam. Ular-ular di depan mereka yang berjumlah lima itu mulai
menari, meliuk-liuk, memutar kemudian berdiri, terus seperti itu hingga
beberapa lama.
Setiap
menit kerumunan itu bertambah dan semakin banyak. Tak sedikit pun dari mereka
yang mengalihkan pandangan walau hanya satu detik.
Nada-nada
yang melantun indah bagi ular itu berhenti.
Ular-ular yang semula meliuk-liuk dimasukkan pada sebuah kain. Kemudian mereka
pergi tanpa mengatakan apapun.
Orang-orang
saling pandang, kemudian tak lama membubarkan diri masing-masing.
Sedangkan
seorang anak tanpa baju dengan celana yang kotor penuh debu mengintip di balik
bilik. Dia menatap cemas apa yang terjadi. Menggeleng-gelengkan kepala dan
setelahnya pergi menerobos hutan.
*****
Entah
sudah berapa jam yang lalu Bawi tidak bisa diam. Ia mondar mandir tak jelas
dengan perasaan gelisah.
Temannya
yang melihat itu menatap jengah.
“Kenapa
sih kamu, Wi?” tanyanya dengan setengah menguap. Pasalnya ini memang waktunya
untuk tidur, bagi mereka yang masih bisa dibilang belum cukup dewasa. Apalagi
peraturan di tempat mereka memang seperti itu. Tidur tidak boleh terlalu malam.
“Tadi,
aku ke desa. Dan aku ngeliat sesuatu.” Jawab Bawi menerawang dengan menggigit
bibirnya.
“Apa?! Kamu ke desa? Kamu tahu kan apa masalah yang bakalan kamu dapet kalo orangtua
kita tahu?”
“Makanya
jangan bilang-bilang.” Ucapnya dengan muka memohon.
Yang
diajak bicara menatap penuh selidik.
“Coba
cerita. Kenapa kamu ke desa?”
Bawi
masih diam. Memilih-milih kata yang tepat untuk mengatakan semua yang
membuatnya resah.
“CEPET!!! Atau aku bakalan bilang ke orangtua kita.”
Bawi
yang melihat temannya beranjak akhirnya bicara.
“Rando!!!!Aku melanggar pantanganku.” Bawi menangis bersimpuh di atas tanah,
menutup
wajahnya dengan telapak tangan. Dia merasa sangat bersalah telah melakukan itu.
Dan
yang paling dia sesalkan adalah tidak ada yang bisa dia lakukan sedikit pun.
Rando
yang mendengarnya terdiam. Menatap temannya dengan muka pucat pasi.
“Siapa
sekarang yang akan menjadi korban dan menderita?”
Beberapa
menit terjadi keheningan. Tiba-tiba Rando tertawa sinis.
“Apa
penduduk desa?”
Bawi
mengangguk. Sedangkan Rando tersenyum sinis mendengar tebakannya tak meleset.
“Biarkan
saja! Mereka pantas mendapatkan itu!”
“Apa
yang kau katakana Rando? Kenapa kau berbicara seperti itu?”
“Jangan
sok baik Bawi. Kamu tidak ingat apa yang mereka lakukan pada kita dan keluarga
kita hah? Apa perlu aku mengatakan satu persatu agar kamu sadar?” Napas Rando
memburu,
“bagaimana
mereka membuang kita ke sini? Bagaimana
mereka menganggap kita bagai sampah? Bagaimana mereka mengatakan kamu
anak pembawa petaka. Hanya karena kita berbeda?” Nada itu mulai melemah, “jika
boleh aku memilih aku tidak ingin terlahir seperti ini.” Rando pergi
meninggalkan Bawi dengan muka menunduk.
Sedangkan
Bawi menatap sahabatnya itu iba. Melihat bagaimana ia berjalan dengan satu kaki
lebih besar seperti batang pohon.
*****
Pagi-pagi
sekali. Bahkan sebelum ayam-ayam berkokok. Lima rumah di tengah hutan itu di
kelilingi orang-orang dengan senjata di tangan mereka masing-masing.
“Keluar
kalian! Berikan pada kami anak sialan itu!”
Bawi
yang tadinya terlelap tiba-tiba membuka matanya, menelisik apa yang sebenarnya
sedang terjadi. Dia mengintip di balik bilik depan. Matanya tiba-tiba melotot.
Ia menggigit bibirnya kencang. Keringat mengucur deras dari dahinya. Suara
pekakan-pekakan menyakitkan itu berasal dari sana
Itu
suara keluarganya. Apa yang harus ia perbuat sekarang. Ia tidak mungkin
membiarkan keluarganya mati konyol seperti itu, apalagi semua karena ulahnya.
Dengan
napas yang masih memburu ia keluar. Menerobos orang-orang.
“Hentikan!
Lepaskan keluargaku. Atau kalian akan menyesal!”
Orang-orang
desa yang membawa kapak itu tertawa terbahak-bahak.
“Memang
apa yang bisa kau lakukan bocah?” Seorang pria menjilat pisau di tangan dan
siap menghunuskannya pada Ibu Bawi.
“Kubilang
hentikan sialan! Jangan sakiti ibuku.”
Terlambat.
Ibunya sudah tergeletak tak berdaya di tanah. Darah mengucur deras dari
lehernya.
“KALIAN!
SEMUANYA AKAN MATI! Seperti ular-ular tak berdaya yang harus memasuki kandang
mereka meski mereka tak ingin.” Bawi tertawa mengerikan.
“Apa
tidak cukup harta kalian dirampas? Kalian benar-benar ingin mati juga?”
“Dari mana
dia tahu jika kita mengalami perampokan? Jangan-jangan dia yang mencurinya?”
Satu
orang berbicara marah.
“Katakan!
Kau tidak mungkin mencuri, aku sudah memeriksa semua rumah yang ada di sini dan
tidak menemukan apa pun.”
Pria
yang berasal dari kerumunan menyahut. Semua mata menatapnya heran.
“Benar,
aku di sini tidak menemukan apa pun. Bahkan sampai kehutan-hutan pun tak ada.
Semua semak-semak telah kami periksa juga.”
Bawi
menepuk-nepuk tangannya.
“Karena
aku adalah Bawi si tabir mimpi. Apa yang aku mimpikan kemudian aku ceritakan
semua akan menjadi kenyataan.” Kalimatnya menggantung, “termasuk kematian
kalian.”
END
dimuat juga di floressastra.com
END
dimuat juga di floressastra.com
http://floressastra.com/2017/01/19/bawi-si-tabir-mimpi-cerpen-sintia-na/
Komentar
Posting Komentar