Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2020

Perjalanan Kita Semenyenangkan Masa Lalu

Gambar
Pernah suatu ketika, saat aku tengah duduk menyandarkan lelah pada barisan-barisan perjalanan yang rindu di tata ulang. Aku menemukan bayangan yang ketika mengingangatnya, membuat bulat sabit terbit di wajahku. Aku selalu menemukan pelukan Ibu pada tiap pagi. Ibu mengirimkan kebahagiaan yang bergelombang di dalam matany, ia mentransferkannya padaku. Suatu ketika aku pernah melihatnya berdoa khusyuk, doa itu seolah-olah diterjemahkan untukku 'Akan kurekatkan pelukan, dan kupanjangkan harapan untukmu. Akan kuletakkan semesta di pangkuanku untuk kau nikmati, agar kelak kau tak usah payah mencari bahagia. Akan kuberikan mimpi yang berlimpah untuk nanti kau wujudkan ketika dewasa. Yang selalu mencintaimu dalam bangun dan lelapnya.' Cibitung, 16 Feb 2020 Sintia NA

Masa Kecilku yang Lugu

Gambar
Aku menatap seorang anak manis dengan dua lesung pipi. Ia sedang asik mengobrol dengan temannya, berbagi lollipop yang ada di tangan. Anak lelaki yang meminta lollipop dari anak perempuan itu mengepalkan tangannya, ia mengatakan ada sesuatu di baliknya. Dengan mata yang berbinar-binar anak perempuan itu ingin melihat apa yang ada di dalamnya. Si anak lelaki bilang, jika ingin melihat sesuatu di dalam kepalan tangannya, lollipop yang tadi mereka makan bersama harus menjadi miliknya sepenuhnya. Awalnya, si anak perempuan ragu, karena lollipop itu merupakan pemberian dari Ayahnya yang sekarang sedang keluar kota. Tapi, rasa penasaran mendominasi hatinya, akhirnya rela tidak rela ia menyerahkan lollipop itu. Ketika lollipop itu sudah ada di tangan anak lelaki, ia kabur dengan sangat cepat. Si anak berlesung pipi kaget, lalu mengejarnya dengan muka cemberut. Aku menggeleng, anak kecil memang selugu itu. Dulu, aku juga begitu. Lugu, tulus, dan suci. Tapi sekarang semenjak dew

Kita Tidak Bisa Mengukur Kebahagiaan Seseorang Dari Apa yang Kita Punya

Gambar
Aku menemukan kepalaku tersandung ingatan yang membuatnya kalang-kabut beberapa hari. Ia meronta-ronta ingin segera bertemu seseorang yang katanya ingin menikahinya esok pagi, tapi tidak ditemukan dari angka di kalender berwarna hitam sampai merah. Aku mendengar langkah kaki, Ibu datang dengan tergesa lalu memelukku dengan derai yang aku tidak tahu kenapa tiba-tiba mengalir dari matanya. Ibu menatapku cemas, seolah aku telah melakukan kesalahan besar. Padahal aku tidak melakukan apa-apa, hanya tiga keramas dan mandi selama seminggu. Kaka tertuaku tak kalah hebohnya ketika melihatku. Padahal dia baru saja sampai dari rumahnya di Semarang. Aku menggeleng dengan keras, meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja. Ibu mengajak kaka dan aku masuk, tapi sebelum kami bertiga memasuki palang pintu, aku membaui sesuatu yang aku hapal betul. Tanpa ragu-ragu aku menengok ke belakang, ke arah jalan beraspal tempat berlalu-lalang hari-hari kenangan seseorang. Aku menemukan dia di sana

Untuk Ke-Pedulianmu yang Ambigu

Gambar
credits  https://www.clipartkey.com/view/wbTmmo_clip-art-black-white-siluet-vektor-anak-kecil/ Mataku terpaku pada mutiara yang kini berwarna hitam yang diabaikan di jalan. Ia mengais berpuluh duka yang bersarang di mata dan dadanya setiap hari, di bawah terik yang membuatnya haus dan kelaparan. Aku menduga dia seorang diri, karena tidak kutemukan sosok lain yang bisa memberikannya pelukan atau rasa aman seperti hari-hari sebelumnya. Ia terus memunguti sisa-sisa kemasan yang selalu berhasil memuaskan perut-perut lapar sang tuan yang sayangnya selalu tak peduli tentang kesehatan dan kebersihan di sekitar. Aku terus mengikuti langkah mungilnya yang tersendat, akibat alas kakinya yang sudah tipis dan belah. Sampai ia ingin menyebrang jalan, tapi lupa tak melihat kiri-kanan. Aku memutuskan memegang tangannya, membawanya menyebrang, lantas mendudukannya di bangku yang kami temukan siang itu. Kini aku tahu siapa anak mutiara itu. Namanya memang tak seistimewa tindakannya, tapi b