CERPEN
Oleh : Sintia NA
Sudah
terhitung satu bulan warga desa dibuat geger. Banyak uang mereka yang tiba-tiba
hilang. Mereka sempat mengira ini perbuatan tuyul atau babi ngepet. Tapi,
perkiraan mereka meleset saat beberapa cermin kecil yang mereka pasang di depan
pintu kamar untuk memancing para tuyul tidak bergerak sedikit pun.
Tak
ada tanda-tanda yang mencurigakan akan hadirnya seekor babi ngepet juga atau pun
terjadi hal-hal ganjil, namun tetap saja uang mereka menghilang. Akhirnya ronda
malam dilonggarkan, tidak diperketat seperti dulu, mereka lelah selalu mendapatkan
kekecewaan.
Suatu
malam, tepatnya malam jumat. Ketika waktu menunjukkan tengah malam, saat semua
orang terlelap termasuk beberapa orang yang melakukan ronda.
Dari
arah barat perkampungan penduduk angin kencang secara tiba-tiba berembus,
membungkus sosok yang tiba–tiba memasuki salah satu rumah dengan pintu
menjulang yang terbuat dari perak. Ia ketuk pintu itu tiga kali. Secara
tiba-tiba, di bawah pintu yang masih tertutup rapat itu berpuluh-puluh uang
kertas berserakan. Dengan tergesa-gesa ia memasukkan semua uangnya pada kantung
berwarna emas yang ia genggam, kemudian menghilang seperti angin.
*****
“Ah
yang bener kamu, Ton? Kan kita yang kemarin jaga.” Manin mengerutkan keningnya penasaran.
“Iya,
Ton. Ini bukan waktunya buat becanda,” tanya Ujon menimpali.
“Lah,
buat apa juga aku bohong ke kalian, serius. Ini aku baru saja dari sana. Kasihan
banget Pak Sangit, istrinya langsung histeris gitu.” Tondi menekuk wajahnya. Ia
sangat prihatin dan merasa amat bersalah atas apa yang terjadi terhadap Pak
Sangit, orang kaya di kampung mereka yang semalam kemalingan. Seandainya saja ia
dan kawan-kawannya tidak ketiduran.
“Ya,
gimana nggak histeris. Mereka nabung udah bertahun-tahun buat naik haji
sekeluarga. Eh tiba-tiba uang itu menghilang dalam satu malam. Mana nggak jelas
lagi yang ngambil itu orang apa bukan.” Ujon menyeruput kopinya nikmat.
Menyenderkan kepalanya pada pos ronda usang. Sedangkan Manin hanya diam, tatapan
matanya kosong. Ia seolah sedang menerawang suatu hal yang sempat ia lupakan.
“Aku
ko ya kemaren ngerasa ada angin yang lewat sini kenceng banget,” kalimatnya
menggantung, “yang diherankan di sini. Angin kencang tapi rasanya panas.”
Manin
memperlihatkan kakinya yang menghitam seperti terbakar.
“Makanya,
tadi pagi aku nanya ke kalian, ada yang nggak matiin puntung rokok atau tidak.”
Mereka
saling pandang penuh keheranan, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku
sempet bangun buat ngusap-ngusap kakiku itu dan menutupinya pakai sarung. Tapi,
sayangnya aku nggak buka mata.”
“Menurut
kalian, dia ini makhluk apa?” Tanya Ujon, memakan singkongnya.
“Kayanya
dia bukan manusia. Tadi, soalnya aku lihat di depan pintu rumah Pak Sangit itu
ada bulu-bulu,” Tondi mengingat-ingat “dan warnanya itu coklat.”
*****
Setelah
kejadian perampokan orang kaya di desa itu, tidak pernah lagi terdengar ada
yang uangnya menghilang. Penduduk desa mulai merasa tenang dan aman. Mereka
tidak lagi menaruh uang di dalam Al-qur’an atau pun di atasnya. Entah mereka
mendapatkan pemikiran dari mana jika mereka melakukan itu uang mereka akan
aman. Meski itu terbukti memang benar.
“Akhirnya
ya, kampung kita udah aman tentram sejahtera lagi.”
Ujon
yang pertama memulai percakapan di petang itu. Menyulut sebatang rokok di
tangan kanannya.
“Iya,
kau benar Jon. Tapi aku masih heran. Sama makhluk itu loh.” Manin mengusap
jenggotnya yang mulai panjang.
“Kalian,
nge gosip wae. Hayu balik. Malam nanti kita kembali jaga kan? Jangan lupa pada
bawa Cemilan masing-masing ya. Tekor saya entar, kalo kalian terus minta.”
Tondi
terbahak melihat dua orang temannya itu melotot. Ia melambai kemudian
meninggalkan mereka.
Tondi
masih memikirkan apa yang membuat desa mereka tak aman beberapa bulan terakhir.
Ia
terus melamun hingga tak sadar salah berbelok. Harusnya ia berbelok ke timur
ini malah ke barat, lebih tepatnya ke sebuah hutan. Ketika tersadar, ia sudah
berada di depan gubuk yang tinggal setengah dan sedikit hangus yang tak jauh
dari tempatnya berdiri. Seingatnya gubuk ini tidak berpenghuni, karena dulunya
hanya dijadikan sebuah rumah remang-remang. Ketika orang-orang mengetahui apa
fungsi gubuk itu mereka langsung membakarnya. Ia menyapu pandangan ke segala
arah. Dan mata itu terfokus di sana, persis tiga meter dari tempatnya berdiri
di belakang gubuk. Ia melihat sesuatu yang membuatnya penasaran akhir-akhir
ini.
“Lutung.”
Setelahnya semuanya gelap.
END
Dengan beberapa perubahan. Selamat membaca :D
Dimuat juga di floressastra.com
http://floressastra.com/2017/05/05/ketukan-ketiga-di-malam-jumat-cerpen-sintia-na/
Dan di Nusantaranews.co
http://nusantaranews.co/ketukan-ketiga-di-malam-jumat-cerpen-sintia-na/
Dan di Nusantaranews.co
http://nusantaranews.co/ketukan-ketiga-di-malam-jumat-cerpen-sintia-na/
Dengan beberapa perubahan. Selamat membaca :D
Komentar
Posting Komentar