CERPEN - Seberkas Cahaya di Langit Senja


                                                 

Seberkas Cahaya di Langit Senja

Oleh : Sintia NA

 Senja menelanjangiku, sedangkan debur ombak ikut menertawakan. Katanya, aku adalah wanita bodoh berkepala terumbu karang. Yang beberapa kali mereka mengabarkan bahwa seseorang yang kutunggu tak akan datang, selalu tak kuhiraukan. Sama sekali, kakiku tak beranjak dari tempat semula meski hanya satu senti. Aku meyakini satu hal tentang segala yang aku jalani dengannya. Dia, adalah orang yang selalu menepati janji sesulit apa pun itu.
Meski sudah hampir dua jam aku menunggu di sini, seperti orang bodoh sekarat yang siap mati.  Kutatap langit yang mulai memerah dan matahari yang siap menuju peraduannya. Ini adalah tempat favoritku dengannya. Kami selalu menghabiskan waktu yang entah seberapa banyak yang jelas, selalu berakhir ketika aku membuka mata sudah di dalam kamarku yang nyaman. Aku memejamkan mata, Azan berkumandang begitu jelas, menembus telinga, membuat hatiku menghangat. Tepat, saat suara lantunan indah dari Tuhan itu berhenti, aku melihat sosok yang kutunggu datang. Dia melontarkan senyum menawan dengan lesung pipinya. Memakai syal hijau tua pemberianku dulu, tanpa alas kaki dan memakai baju putih. Aku terpaku, menatap sosoknya lamat-lamat. Kemudian tak kalah memamerkan gigiku yang putih berderet, menghampirinya perlahan. Aku hendak bersuara, tapi ia menahannya dengan menaruh telunjuk di bibirnya. Ia membalikkan tubuhku kembali, agar menatap matahari yang siap pulang ke rumah, sunset. Ada rasa canggung yang sulit aku jelaskan ketika aku kembali bersisian dengannya setelah lama kami tak berjumpa.
Satu menit menghabiskan sunset dengannya adalah waktu tersingkat yang pernah aku bayangkan. Ia memegang pundakku, membalikan tubuhku ke arahnya. Pandangan kami bertubrukkan, matanya menembus ruang yang selama ini kosong di dalamku menjadikannya penuh kembali. Kutelusuri lekuk wajahnya yang dari dulu tak pernah berubah, selalu enak dipandang. Ada beberapa bulu halus yang mulai tumbuh di bawah dagunya sekarang, aku tersenyum.
Ia mengusap puncuk kepalaku. Tangannya menjalar kebagian wajahku, menyapukan tangannya di sana. Aku merasakan tangan halusnya menyapu dengan teratur setiap indera yang kumiliki. Sampai tangan itu berhenti di belahan bibirku, ia mengusapnya lama dengan lembut. Lama kelamaan, jarak kami mulai menipis seiring dengan dia yang mendekatkan wajahnya. Ketika jarak wajah kami hanya satu senti dan aku mulai menutup mata ia berkata pelan namun masih bisa kudengar dengan jelas
“Tidak ada yang bisa mencintaimu seperti aku, tapi kau berhak mencintai siapa pun.”
Aku membuka mata, tertegun atas apa yang ia katakan. Aku hendak membantah semua yang keluar dari mulutnya itu, namun dia kembali tak mengizinkannya. Dia malah kembali tersenyum dan menarik sebelah tanganku. Sebelum aku bertanya, apa maksud benda yang ia berikan itu, ia kembali membuat mulutku bungkam. Dua belah bibir basahnya itu mendarat dengan mulus di keningku. Tiga menit, waktu seolah berhenti berdetak, kita berdiam diri tanpa ada suara-suara apa pun termasuk walau hanya desau angin. Ia melepaskan bibirnya dan aku menatapnya lama.
“Aku pergi, jaga diri baik-baik.”
Rasanya ingin sekali aku menahannya pergi lagi. Tapi, itu tak mungkin. Karena, ini merupakan perjanjian kami. Ketika ada salah satu dari kami yang ingin pergi, pihak lain tak boleh ada yang menghalangi, atau pun merengek tak ingin ditinggalkan.
Perlahan tapi pasti, ia pun mulai menjauh, menyisakan aku yang menggenggam kalung jam pasir pemberiannya.

*******

Roesalin Almahira, gadis jelita dengan rambut sebahu yang mempunyai bola mata sebiru laut. Ia merupakan anak bangsawan. Segala kemewahan selalu ia dapatkan dari kecil hingga saat ini ketika usianya menginjak tujuh belas tahun. Tak ada seorang pun yang mau membayangkan hidup seperti dirinya, karena mereka tahu itu tak mungkin. Seminggu lagi, ulang tahunnya yang ketujuh belas akan dilaksanakan dan semua orang di rumah megah itu heboh mempersiapkan segalanya. Seolah akan ada pagelaran akbar di negeri itu. Meski bagi Roe sendiri hal seperti itu tak terlalu ia pikirkan. Yang terpenting baginya hanya kedua orangtuanya dan kebun bunga di belakang rumah.
Roe kadang merasa heran, dia yang berulang tahun tapi Ayah dan Ibu nya yang super sibuk.
Ibunya sudah seperti ibu-ibu di pasar yang kewalahan membeli bahan makan. Ia sedang mengatur beberapa orang pegawai untuk menghias rumah, mengomel tak jelas ketika hasilnya tak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Meski begitu, Ibu nya selalu terlihat cantik dalam emosi apa pun. Rambutnya yang hitam legam disanggul rapi, beberapa kuncup bunga melati disematkan di rambutnya. Jangan lupakan satu hal lagi, ia memakai baju kebaya putih dan sarung batik cantik berwarna coklat. Kata Ibunya meski mereka tidak berasal dari Indonesia tapi mereka harus tetap menghargai tempat di mana mereka tinggali sekarang. Sedangkan ayahnya yang mempunyai alis hitam tebal dan hidung mancung bak pangeran Inggris itu sedang melihat-lihat undangan yang kini hanya tersisa beberapa buah di tangannya. Ia menyerahkan undangan itu kepada seorang laki-laki botak yang sedikit lebih tua darinya kemudian membisikkan sesuatu.
Roe yang melihat itu terkikik geli dan menggelengkan kepalanya. Roe tersentak, tiba-tiba ia ditarik oleh seseorang, siapa lagi?
“Roe sayang, kamu harus siap-siap. Oh iya, nanti bakalan ada perancang busana yang ke sini. Langsung Ibu suruh ke kamar kamu aja ya . Sekarang kamu mandi gih biar nggak bau.”
Roe yang mendengar ucapan frontal Ibunya itu melotot.
“Udah gih sana, masa anak gadis bau di hari ulang tahunnya.”
“Maaa,” ucapnya merengek.
Sedangkan sang Ibu hanya tertawa geli. Mendorong Roe menaiki tangga menuju kamarnya. Roe memijit kepalanya yang sedikit berdenyut, menaiki beberapa anak tangga penghubung ke kamarnya.
“Ini sepertinya akan panjang dan melelahkan,” ucapnya.
 lima puluh menit adalah waktu yang Roe habiskan untuk membersihkan dirinya, ini sebenarnya waktu terlama Roe di kamar mandi. Tadi ibunya berbisik untuk tak lupa memakai lulur turun temurun mereka jika ingin mandi.. Kata Ibunya lulur itu akan membuat aura pemakainya lebih bersinar. Roe ingin mengatakan tidak percaya pada hal semacam itu, tapi pada akhirnya ia tak bisa mengatakan apa-apa dan berakhir harus memakainya juga karena tak ingin membuat Ibunya marah atau sedih di hari ulang tahunnya.
Roe melihat seorang wanita seumuran ibunya yang sedang merapikan beberapa aksesori, ketika ia membuka pintu kamar mandi. Wanita itu tersenyum ke arah Roe ketika indera pendengarannya mendengar pintu yang berdecit.
“Nona, anda sudah siap?” tanyanya lembut. Menepuk-nepuk kursi di depan meja rias yang sering Roe gunakan.  Yang kini terisi penuh deretan benda yang entah Roe pun tak tahu apa saja itu. Benda-benda itu terlihat asing di penglihatannya.
 “Cukup, Roe saja, Bu.” Roe tak kalah tersenyum manis, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan lesung pipinya yang menawan.
“Apa saya sudah terlihat seperti Ibu-ibu, Roe?,” wanita itu tertawa, kemudian melanjutkan “cukup panggil saja Namica okey.”
Roe tersenyum canggung, menggaruk tengkuknya. Tapi, setelahnya ia mengangguk.
“Tidak usah tegang begitu, Roe. Relaks saja.” Namica mengusap punggung Roe. Roe menghela napas, menjatuhkan sedikit punggungnya yang tegak.
“Akan saya buat kamu jadi ratu sejagad semalam, Roe. Tenang saja, serahkan semuanya pada saya.”
*****
Semuanya terasa melambat di mata pemuda yang kini sedang menggenggam setangkai bunga mawar itu. Ia cengkram bunga di genggamannya kuat, takut-takut tiba-tiba saja tangan dan tubuhnya ambruk. Ia longgarkan dasinya yang ia rasa mulai membuatnya tercekik, atau itu hanya akal-akalannya saja yang tidak tahan melihat pemandangan indah di depan matanya. Jarak mereka hampir dekat, pemuda itu menghampiri seorang putri cantik dari negeri dongeng yang amat menawan, itu adalah pemikiran super absurdnya. Karena sungguh, saat ini ia tidak bisa mendefinisikan harus dengan kata apalagi sosok di hadapannya ini.
“Apa aku diperbolehkan mengisi ruang di sela jemarimu?” ucapnya lembut mengulurkan tangan.
Sedangkan gadis bergaun biru langit itu mengangguk dengan tersipu malu, apalagi sedari tadi ia merasa banyak mata yang mengekori gerak-geriknya. Dua jemari itu bersatu, jemari yang lebih besar mengeratkan genggamannya, menarik jemari lainnya menerobos kerumunan.
“Kamu sepertinya ga nyaman di sini, kita cari tempat lain aja.”
Yang ditanya hanya menganganggukan kepalanya sambil menunduk. Dia memang kurang terlalu suka kerumunan. Beruntunglah, dia bertemu seseorang yang mengerti dirinya tanpa ia utarakan apa-apa.
“Kamu suka tempat ini?” Itu adalah pertanyaan kedua yang dilontarkan pemuda itu pada pertemuan pertama mereka yang terdengar sangat akrab dan lembut.
“Tentu saja, aku sering menghabiskan banyak waktu di sini.”
“Benarkah?”
“Tentu.”
“Oh, iya, aku hampir lupa. Siapa namamu?”
“Roesalin Almahira. Panggil saja, Roe.”
“Baiklah, Roe. Aku Radias Marata. Kamu boleh panggil aku Dias, Ata atau apa pun asal lidah kamu nyaman mengucapkannya.” Ata tersenyum lembut.
“Baiklah, aku panggil kamu Ata aja ya. Itu terdengar em.. lebih akrab,”ucap Roe malu-malu.
Ata mengusap rambut Roe, sedangkan Roe dibuat tertegun karenanya. Roe baru pertama kali diperlakukan seperti ini oleh seorang pemuda. Apalagi pemuda ini tak kalah tampan dengan pangeran-pangeran kerajaan, ditambah lagi dia sangat lembut. Roe, merasa sangat nyaman bila berada di dekat Ata. Padahal mereka baru pertama kali bertemu. Ia merasakan sesuatu yang asing, yang baru pertama kali Roe rasakan. Menyelundup masuk ke dalam hatinya, dan membuat debaran-debaran tak karuan tatkala ia tatap manik itu.
Mereka bercerita tentang banyak hal, termasuk tentang ketidakadilan yang Ata rasakan. Roe sama sekali tak pernah mengira jika orang seperti Ata adalah anak yang tidak pernah diperhatikan oleh keluarganya.
Ata mengatakan setiap kali ia meminta bantuan kepada keluarganya, khusunya Ibunya, mereka selalu berkata “Kamu sempurna Ta, kamu bisa lakuin apa pun. Nggak mungkin rasa-rasanya soal hal remeh kaya gitu kamu minta tolong.”
Ata hanya bisa tersenyum perih ketika Roe mengusap pundaknya. Sedangkan pemuda itu mengusap ujung matanya yang basah. Katanya lagi “Ia bisa menahan peluru apa pun. Ia bisa menerjang berbagai bongkahan apa pun. Tapi, tidak jika itu menyangkut keluarganya.”
Meski keluarganya sering sekali berlaku tak adil pada kehidupannya Ata tetap saja menyayangi mereka. Bertambahlah rasa kagum Roe pada Ata, ia menyukai segala hal yang ada pada pemuda itu.
Bercerita memang enak untuk membunuh waktu. Tapi, ketika cerita kita mengalir deras dan enak, waktu yang jadi kita bunuh. Mereka tidak sadar sudah berapa banyak waktu yang mereka habiskan di kebun bunga kesayangan Roe itu. Sampai orangtua Roe memanggil dirinya. Ata yang melihat Roe sedikit dimarahi orangtuanya karena dirinya merasa tak enak hati. Orangtua Roe memang benar, harusnya yang berulang tahun tidak boleh ke mana-mana, ia harus menyambut tamu-tamu. Banyak sekali tadi tamu yang datang dan sangat kecewa karena tak bisa bertemu dengan seseorang yang mereka harapkan, Roe.
Apalagi pemuda single putra-putra pejabat ternama. Ata menjelaskan pada orangtua Roe bahwa Roe tidak bersalah. Dirinyalah yang memang patut disalahkan atas segala kekacauan yang terjadi. Namun orangtua Roe hanya tersenyum. Mereka ternyata tidak benar-benar marah. Mereka hanya sangat khawatir tidak menemukan anak semata wayang mereka dari tadi. Sekali lagi Ata meminta maaf dan tersenyum hangat melihat keluarga itu. Beruntungnya Roe mempunyai keluarga sehangat itu, batin Ata miris.
Roe yang seolah mengerti akan tatapan Ata, mengusap punggung tangan pemuda itu dan berkata
“Ata boleh ko nganggep orangtua Roe orangtua Ata juga kalau mau.”
Orangtua Roe yang melihat interaksi mereka berdua saling pandang kemudian tersenyum misterius dan mengangguk.

*****

Ata diundang makan malam oleh Orangtua Roe. Dengan perasaan yang amat gugup, Ata mengetuk pintu menjulang yang tersaji di hadapannya. Ata datang ke rumah Roe tidak menggunakan pakaian formal, dia sangat santai dengan celana kain putih dan baju senada. Rambutnya yang hitam legam terlihat berkilau dan lembut di mata Roe ketika ia membukakan pintu. Ata duduk di sebelah Roe, sedangkan Ayah Roe sebagai kepala keluarga duduk di paling ujung dan Ibu Roe di depan Ata, pada meja makan yang cukup untuk enam orang. Mereka memang tidak makan di ruang makan utama. Tapi, di ruang makan lain yang lebih santai dan terbuka di dekat kebun bunga-bunga Roe berada. Ata menopang dagunya tatkala sedang menunggu makanan dihidangkan. Dia tak bisa berhenti untuk tak menarik garis bibirnya hingga melengkung.
“Ata, kamu kenapa?” tanya Ibu Roe sambil menengok orang di depannya.
“Nggak, papa ko tante. Aku cuman seneng. Udah lama rasanya nggak makan bareng kaya gini.”
“Aku biasanya makan sendiri, kadang sama pembantu di rumah. Tapi, yang lebih sering sih makan sendiri di luar.” Ata tersenyum.
Roe mengusap bahu Ata lembut, beberapa kali, sampai Ata membalikan wajahnya dan tersenyum padanya. Mereka selalu seperti itu, merasakan hal yang tak pernah mereka utarakan tapi antara satu dengan yang lainnya saling mengerti. Mereka seolah punya benang kuat tak kasatmata yang menghubungkan mereka tanpa ada yang tahu kecuali mereka dan Tuhan.
“Ata, apa kamu serius sama anak om?”
Roe melotot mendengar penuturan Ayahnya. Ayahnya sama sekali tidak tahu hubungan apa yang terjalin antara dirinya dan Ata. Sampai saat ini mereka belum masuk kepada tahap apa-apa. Masih meninmbang-nimbang, memperkiraan dan mengenal satu sama lain lebih dekat dan dalam. Namun jawaban Ata yang lebih membuat Roe kaget. Ia seperti terkena serangan listrik maha dahsyat.
“Saya tak pernah seserius ini dengan seorang perempuan, Om. Saya tahu ini masih terlalu dini dan kami berdua masih sangat muda. Tapi, apa saya diizinkan untuk menjadi pendamping anak om nanti?”
“Beri saya waktu lima tahun untuk menjadi pemuda yang pantas dan bisa diandalkan yang bersanding di sebelah Roe.”
Ibu Roe menatap terharu. Ia sampai meneteskan air matanya. Sedangkan Roe merona parah dengan kepala menunduk.
“Baiklah, saya akan memegang janji kamu.”
Ata mengangguk setelah itu semuanya menjadi hening. Bagi Roe ini adalah makan malam sakral yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ibu Roe tiba-tiba tertawa memecah keheningan. Ia mengatakan bahwa seharusnya makan penjamuan keluarga baru tidak harus secanggung ini. Harusnya hangat, ia pun mengatakan ini disebabkan karena muka keras ayah Roe. Semua orang yang di sana tertawa, termasuk Roe yang tak bisa menahan ketawa geli karena melihat ekspressi ayahnya yang mengernyit dan memutar bola matanya malas atas ucapan istrinya. Ata yang melihat Roe yang manis saat tertawa lepas secara reflek mengusap puncuk kepalanya sayang.
“Tunggu aku Roe,” bisik Ata menembus bola mata biru Roe.

*****

Ata merebahkan tubuhnya yang kaku, meregangkan beberapa otot yang sempat menegang. Ia megusap mukanya. Segala kejadian dramatis di bandara kemarin siang ia saksikan seutuhnya. Bagaimana ia melihat perempuan yang dicintainya begitu terpukul. Sungguh saat itu juga rasanya ia ingin berbalik arah tapi ia tak bisa, saudara-saudaranya mengancam jika ia menemui Roe maka ia tak akan diizinkan untuk kembali ke rumah lagi melihat Ayah dan Ibu. Sudara-saudaranya iri karena pada akhirnya ia yang bisa mendapatkan Roe. Alasan sebenarnya ia tidak menemui Roe dihari keberangkatannya yang sebenarnya adalah karena itu, meski tak dapat ia pungkiri, memang hal yang paling ia hindari adalah melihat Roe menangis.
Ata mengirim surat pertamanya kepada Roe saat ia telah sampai di negeri tujuannya kuliah. Tapi, tidak mendapatkan balasan apa-apa. Ata masih memaklumi hal itu, pasti semua ini memang akan terjadi tapi tak masalah. Di hari kedua kemudian hari seterusnya dan sampai pada hari ke 360 suratnya belum juga mendapatkan balasan.
Ata gelisah, apa Roe memang semarah itu padanya? Ini sudah setahun dan ia tidak mendapatkan berita apa-apa dari perempuan terkasihnya itu. Untuk membunuh sepi, Ata selalu mengunjungi panti-panti asuhan, ia juga sering bermain bersama orangtua di panti jompo yang letaknya tak jauh dari apartemennya. Dia juga tergabung dalam komunitas pecinta alam lingkungan sekitar rumahnya. Komunitasnya itu biasanya mengadakan perjalanan untuk mendaki sebulan sekali. Pendakian pertama Ata membuatnya ketagihan untuk mengikuti lagi dan lagi. Ia sangat menyukai bunga edelwis yang berhamparan di puncak gunung. Sempat ia ingin mengambil beberapa petik tapi tidak diizinkan karena edelwis tidak tumbuh setiap waktu. Hanya waktu-waktu tertentu saja.
Ata berjuang dengan keras untuk menyelesaikan kuliahnya dengan cepat, agar ia cepat kembal ke Negara asalnya dan melamar kekasihnya. Perjuangannya akhirnya membuahkan hasil, tiga tahun dia berhasil menyelesaikan sarjanya. Setelah dia lulus, dia melamar pekerjaan ke sana ke mari. Ia ingin ketika dirinya kembali ke Indonesia dan melamar Roe, ia sudah bisa menyediakan tempat nyaman untuknya dan Roe tinggali. Demi Roe ia rela melakukan apa pun. Termasuk jika harus mengorbankan waktu istrirahatnya, lebih banyak untuk bekerja.
Sungguh rindunya sudah tak tahan lagi. Tapi, ia harus tahan, setahun lagi semuanya akan terbalaskan. Roe tunggu akau setahun lagi kumohon. Ata menatap wajah itu sendu, kemudian menyandarkan kepalanya dan menutup matanya yang mulai mengantuk.

*****

Lima tahun berlalu. Saat-saat yang ditunggu-tunggu Ata akhirnya datang juga. Dia sudah berpenghasilan sekarang, Malah sudah mulai membuka usaha kecil-kecilan yang jika ditekuni akan berubah menjadi raksasa. Ia sudah menghubungi kenalannya di Indonesia untuk mencarikan rumah yang bagus di sana yang bisa ia tinggali nantinya. Ata sudah mempersiapkan segalanya sebelum dua minggu keberangkatannya. Ketika seminggu sebelum keberangkatannya komunitas pecinta alamnya mengajak ia untuk ikut mendaki.  Ata yang sudah sangat kecanduan mendaki benda tinggi menjulang itu tanpa pikir panjang tidak menyia-nyiakan kesempatannya dan mengiyakan ajakan itu. Entah gunung apa yang akan mereka daki kali ini yang jelas Ata merasakan bahwa ini akan berbeda dan lebih menyenangkan dari sebelumnya.
Dan benar saja, ketika mereka telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk menuju puncak dan mereka tiba di sana, hamparan edelwis biru kesukaannya terpang-pang nata di sana memanjakan mata. Bukan hanya biru tapi banyak yang lainnya. Ata tidak menyesal sama sekali telah datang ke sini. Ia ingin mengambil sehimpun edelwis di ujung sana, yang tak terjamah oleh pandangan siapa pun untuk diserahkannya pada Roe minggu depan. Ia berjalan mengendap, tak ingin agar ada yang mengetahuinya sama sekali.
Tepat saat jaraknya hampir dekat dengan bunga itu Ata terpeleset, ia menggelinding masuk jurang. Dan yang membuatnya fatal adalah, punggungnya menancap sempurna pada batang pohon runcing. Ia pegang kalung jam pasir peninggalan neneknya itu dan menciumnya beberapa kali. Darah keluar dari mulutnya dengan deras.
“Kumohon Tuhan, jika aku tidak bisa hidup. Izinkan aku menemui Roe minggu depan walau itu hanya satu jam.”
Saat Ata memejamkan matanya, tahu-tahu cahaya menyilaukan menerpa tubuh Ata pada senja kala itu.

END

Komentar

  1. Aku, aku, jadi takut senja ._. karena tragedi di wkt senja kisah2mu 😂

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Hanya Rangkaian Cerita yang Tak Tahu Akan Menjadi Apa

Aku Sedang Membaca Kata-kata Dalam Tempurung Kepalamu

CERPEN - Toples Selai Kacang