CERPEN - Toples Selai Kacang
Toples Selai
Kacang
Oleh : Sintia NA
Pagi ini, aku bangun
dengan perut keroncongan. Semalam memang tak sempat ikut makan bersama
rombongan. Aku sedang pura-pura sok sibuk, melukis dinding-dinding rumah waktu
itu. Saat hendak keluar rumah mencari makan ibu berpesan untuk hati-hati, lantas
segera pulang. Dari raut wajah ibu aku tahu, dia sulit merelakan aku pergi
sendiri. Tapi, mau bagaimana lagi tak ada seorang pun yang bisa menemaniku.
Teman-teman dan rombongan yang lain jam segini masih mencari makanan, dan aku
tidak bisa menunggu lama. Mereka pulang saat matahari menyingsing, ketika
punggung-punggung mereka sudah berat oleh makanan.
Aku berjalan pelan,
sesekali berhenti atau bersembunyi saat orang berseragam putih-putih yang
membawa selang infus atau pun stetoskop hampir dekat denganku. Bagaimana aku
tahu nama-nama benda aneh itu? Aku selalu mendengar dengan seksama ketika
mereka berbicara, sesekali aku pernah menyentuh benda itu saking penasarannya.
Aku hanya perlu
melewati dua ruangan untuk menuju dapur, dan ruangan pertama berhasil dilalui dengan mulus. Aku
menelan ludah, sepertinya penghuni ruang kedua sudah bangun. Pintu kamarnya
terbuka sedikit. Dengan kecepatan penuh
aku berjalan, jangan buang-buang waktu. Sedikit lagi ruangan terbuka itu akan
terlewati, sampai mataku melirik toples berwarna coklat tergeletak di bawah
tempat tidur.
Aku menelan ludah
gugup. Baunya enak sekali, harusnya aku tidak melakukan ini. Tapi, karena tak
tahan ya sudahlah. Dengan penuh kehati-hatian mengendap-endap, aku memasuki
ruangan itu. Mengecek setiap pergerakan penghuni di kamar itu. Dirasa tak ada
pergerakan apa-apa, aku meleset penuh semangat menuju kolong tempat tidur. Dengan
tatapan memuja dan liur yang menetes ke mana-mana, aku mulai memakan selai
dalam toples yang sepenuhnya terbuka itu. Isinya masih sangat banyak, mungkin
sang pemilik tak sadar jika selainya jatuh. Lantas membeli lagi selai yang
baru. Apapun itu, yang jelas sangat menguntungkanku.
Selimut yang menjuntai
ke bawah memudahkanku untuk sulit ditemukan. Satu suap, lima suap, hingga
sepuluh suap. Rasanya ingin memasukan suapan ke sebelas, tapi ruang tampung di
dalam tubuh tak mengizinkan untuk itu. Dengan perasaan tak rela aku mengelus
toples itu, seperti seorang ayah yang hendak meninggalkan anaknya pergi jauh.
“Besok, aku ke sini
lagi. Jangan ke mana-mana ya.”
*****
Selama seminggu, aku
selalu melakukan rutinitas yang sama ; tak pernah makan malam dan selalu makan
pagi lebih awal serta sendirian. Awalnya, ibu tak pernah mempermasalahkan dan
mempertanyakan apapun, sampai ia menyadari perubahan drastis tubuhku. Ibu
selalu bertanya apa yang kumakan setiap pagi, sampai-sampai tubuhku yang
tadinya krempeng berubah menjadi gumbalan bundar yang sangat padat. Aku selalu
menjawab, “Seperti makanan yang selalu kita makan setiap hari.”
Entah ibu percaya atau
tidak akan perkataanku, yang jelas aku selalu melenggang pergi setelah
mengatakannya.
Suatu hari, aku merasa
ketika aku hendak berjalan ke tempat persembunyian—toples selai kacang. Seperti
ada bayang-bayang yang mengikutiku, tapi saat aku check tidak ada apa-apa. Dengan
pelan aku melewati setiap jalan menuju kamar itu. Membayangkan begitu lezatnya
selai yang selalu kunikmati setiap hari tapi tak pernah bosan aku cicipi.
Jangan tanyakan kemana
penghuni kamar ini, karena yang aku tahu, dia hanya seorang bocah SD yang
mempunyai gigi ompong serta rambut sebahu yang di cat kuning dan sedikit
berantakan. Kala itu aku tak sengaja melihat helaian rambutnya di dekat toples
kacang serta bingkai fotonya berseragam merah putih yang persis terjatuh di
sebelah ranjang. Untung ukuran makhluk kecil yang makan dengan hasil mencuri,
aku cukup pintar, kekehku dalam hati.
Ketika selai kacang itu
baru masuk disuapan kedua di dalam mulut, tiba-tiba aku tersedak. Aku merasa
tubuhku melayang-layang di udara tak tentu arah. Apa dunia sedang berpesta pora
atau Tuhan sedang murka? Dengan perasaan bingung dan kepala yang berputar-putar
aku menengok ke segala arah.
“Halo, tuan bundar. Aku
Sagi, dan kau akan menjadi sarapanku pagi ini.”
Dia terus
menggoyang-goyangkan toples yang ada di tangannya, membuatku semakin ingin
muntah. Inginku balas perkataanya bahwa aku tak sudi menjadi makanan mulutnya
yang pasti berbau busuk itu. Lihat saja, sudut bibirnya berlendir dan berwarna
kuning menjijkan. Lagipula, mana bisa juga dia mendengar perkataanku. Akan
terlihat tolol jika aku melakukannya.
“Kamu pasti mual yah,
maaf ya nggak sengaja. Aku lupa, kamu kan makhluk kecil yang lemah.” Suara kikikan
yang nyaring memenuhi setiap penjuru ruangan. Rasanya inginku sumpal mulutnya,
dia sangat menjengkelkan untuk ukuran anak seusianya. Iya, aku tahu, tubuhku
sangat kecil. Jadi, kumohon jangan pernah memikirkan sebesar apa otak yang aku
miliki. Meski begitu, bukan berarti aku tak bisa berpikir. Dengan senandung
yang terus berkicau dari mulutnya. Gadis itu membawaku ke dapur. Ia mengambil
benda tajam mengkilat, seperti yang sering orang-orang berbaju putih gunakan.
Aku menelan ludah tatkala ia menjilat-jilat benda itu. Sebenarnya, apa yang ia
inginkan dan harapkan dari makhluk sekecil aku. Jangankan kenyang, sampai
kerongkong saja tidak jika dia memakanku. Ia meletakan toples selai kacang itu
di atas meja. Kemudian ia mencari sesuatu yang aku sendiri tak tahu entah apa.
Sampai-sampai ia keluar ruangan untuk mencari sesuatu itu. Ini kesempatanku
lari, tapi, aku bingung harus bagaimana dan dengan cara apa meloloskan diri
darinya. Tuhan kumohon bantu aku, aku berjanji akan menjadi anak baik dan tidak
akan berbohong pada ibu lagi jika kau menyelamatkanku. Kulafalkan mantera itu
beberapa kali. Aku tak tahu apakah Tuhan akan mendengar doa seorang pendosa
sepertiku atau tidak. Tapi, beberapa orang berseragam putih-putih itu selalu
mengatakan bahwa Tuhan sangat baik, jadi apa salahnya jika aku mencobanya siapa
tahu manjur.
Aku menengok beberapa
kali pintu dapur yang tadi sempat dilalui anak itu. Tapi, anak itu tak muncul
lagi. Sampai pegalnya aku menuggu, kumakan saja beberapa coklat yang masih
sangat banyak dalam toples. Sampai suara berdenyit pintu terbuka, menampilkan sosok
wanita berrambut hitam legam yang langsung mengerutkan dahinya tatkala melihat
toples selai kacang di atas meja. Tak lama ia tersenyum, meletakan beberapa
barang yang ia bawa dalam kantung kresek hitam. Ia tata beberapa di antaranya
seperti roti kotak yang masih terbungkus sangat rapi. Ia mengambil benda yang
sedikit cekung di dalam lemari, setelah ia mencari sesuatu yang sepertinya tak
ia dapatkan.
Tahu-tahu udara
menyeruak ke dalam toples, ia mengambil beberapa cungkil coklat. Tak akan
menyia-nyiakan kesempatan aku segera melesat setelah ia menyelesaikan
pekerjaaanya mengolesi selai ke dalam makanan yang sedari tadi ia bawa.
Aku tersenyum, berjalan
dengan sumringah. Tuhan memang benar-benar baik. Lain kali aku kan sering
berdoa agar semua keinginanku bisa Ia kabulkan.
******
Aku gemetar, napasku terengah.
Lututku melemas, apa yang sebenarnya sedang terjadi?
“Hai, semut kecil. Ini enak
sekali.”
Dengan matanya yang
berbinar ia menatapku.
“Keluargamu sangat
banyak. Aku menyukainya.”
Ia menyendok beberapa
semut-semut kecil yang berhasil ia kumpulkan dalam toples besar.
“Kau penghianat!
Memberitahukan padanya tentang kaumu sendiri. Dan membumi hanguskan kami, demi
keserakahanmu!”
Aku menggeleng. Aku tak
mungkin sejahat itu.
“Aku tidak
melakukannya!”
“Tak mungkin ada
pembual yang akan mengaku!”
Aku terduduk lesu.
Bagaimana mungkin rumah kami bisa diketahui? Kaum kami sangat terkenal dalam
hal menyembunyikan diri. Ada yang janggal di sini.
Sebelum tiba giliranku
ia makan, aku melihat semut ketakutan di belakang tubuh gadis itu. Ia mengintip
dengan perasaan yang entah aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya.
“Hey! Kau? apa kau yang
tadi mengikutiku?”
Aku melihatnya menelan
ludah gugup. Sudah kuduga.
“Perjanjian apa yang
kau lakukan dengannya sampai kau merelakan kaumu sendiri?”
“Aku bisa bahasa
manusia. Dan dia berjanji tak akan memakanku jika aku mengatakan tempat
persembunyian kita padanya.”
“Dan tololnya semut itu
percaya padaku.” Gadis itu menyela obrolan kami.
Lantas ia mengangkat
semut yang tak jauh lebih besar dariku itu, kemudian memasukan ke dalam mulutnya
dan sekali menelannya, ia menyeringai. Anak itu memang tak mempunyai hati. Aku
melihat beberapa semut yang masih tersisa, apa memamg semuanya harus berakhir
seperti ini? Tuhan, sekali lagi kumohon bantu aku. Beberapa menit aku berpikir,
apa yang harus kulakukan. Sampai aku mendengar anak itu menjerit kesakitan. Aku
bertanya pada yang lain, kenapa ia bisa menjerit. Lantas kaumku menjawab bahwa
ada tiga ekor semut yang tak sengaja menggigit kaki gadis itu yang tanpa alas
kaki.
Aku tersenyum, menyeringai.
Kejahatan tidak harus selalu menangkan?
****
END
Komentar
Posting Komentar