Pemburu Kelamin






Pemburu Kelamin

Oleh : Sintia NA


Di sebuah desa yang jauh dari perkotaan, tepatnya terletak di pulau Jawa. Terdapat mitos atau pun hal tak masuk akal terjadi yang menyeruak di antara mereka. Yang mungkin sebagian orang tak mempercayainya. Sesuatu yang sangat meresahkan dan membuat takut.
Semuanya bermula ketika seorang gadis belia  melakukan sebuah perjalanan sendirian ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar di saat sore hari. Menjelang malam gadis itu tidak pulang-pulang, padahal Ibunya tahu betul, anaknya tidak pernah selama itu jika hanya untuk mencari sebuah kayu bakar. Semua penduduk Desa dikerahkan, disetiap penjuru hutan mereka disebarkan, namun naas gadis itu tidak ditemukan sama sekali.
Keesokan paginya, warga kembali mencari, Gadis itu tergeletak tak berdaya di dekat sebuah batang pohon besar, yang warga yakini semalam mereka telah menelusuri area itu tapi tidak menemukan apa-apa. Yang memprihatinkan adalah keadaannya, dia tidak memakai apa pun, tubuhnya hanya ditutupi sebuah kain hitam sampai dagu yang tidak terlalu tebal, bibirnya membengkak serta kebiru-biruan.
Warga yang melihatnya histeris, apalagi sang Ibu yang tak terima jika anaknya diperlakukan demikian.
“Saya ndak terima! Siapa yang melakukan ini? Anakku.”
Isak tangis histeris dan raungan menggema, amat memilukan. Ia segera dibawa ke rumahnya. Dibersihkanlah tubuhnya yang kotor, dibalutnya juga tubuh itu dengan beberapa kain kemudian menunggu dia membuka matanya.
Waktu berlalu amat panjang, dua hari gadis itu tidak sadarkan diri. Tepat pada saat fajar menyingsing di hari ke tiga, dua bola bundar yang di bungkus kelopak itu bergerak gelisah. Ibunya yang selalu terjaga menungguinya kaget, mengguncang tubuh molek itu.
“Sundira. Sundira, bangun nak!”
Beberapa menit tubuhnya mendapat guncangan, sampai akhirnya kelopak matanya sepenuhnya terbuka. Keringat mengucur deras dari dahinya. Ia menatap sekeliling takut-takut, menyembunyikan wajahnya di antara lutut dengan bibir yang bergetar.
“Sundira, ini ibu nak. Jangan takut.” Seorang wanita paruh baya yang setia menunggui anaknya, segera saja langsung memeluk dan mengusap kepala anaknya sayang. Air mata tak bisa ia cegah mengalir begitu deras dari matanya yang terdapat kantung hitam kentara. Ia miris melihat Sundira begitu. Siapa sebenarnya laki-laki laknat yang berani-beraninya melakukan hal keji pada anaknya? Sungguh, ia akan membunuh siapa pun yang tega melakukannya. Sundira menatap wanita di hadapannya lamat-lamat, setelah kesadaran sepenuhnya ia dapati ia menangis meraung.
“Bu, aku takut bu. Dia jahat, dia kejam. Bu, tolong,” ucapan lirih itu begitu menyanyat hati.
“Ibu, di sini nak. Sekarang kamu aman. Tenang, ibu janji semua bakalan baik-baik aja.”
 Setelah segala kejadian meresahkan terjadi, tidak ada anak gadis yang diperbolehkan ke hutan sendirian. Jika pun ingin ke hutan, harus ada yang menemani. Sehari setelah kejadian itu Sundira didesak warga desa untuk mengingat-ingat seperti apa rupa makhluk yang menculik dan melecehkannya.
Pada awalnya Sundira selalu histeris jika ditanya begitu, dia tidak ingin mengingat lagi hal yang tidak mau dia ingat. Namun seiring dengan berjalannya waktu, dan Mariati yang perlahan-lahan meyakinkan Sundira bahwa semua akan baik-baik saja. Akhirnya, Sundira mau mengingat segala kejadian pahit dalam hidupnya. Meskipun ia mengatakannya tidak terlalu jelas dan terbata-bata, karena jelas-jelas dia masih sock dengan segalanya.
Sundira mengatakan bahwa makhluk itu tidak memakai baju, tubuhnya kekar, kulitnya coklat. Dan dia hanya memakai sebuah kolor, berwarna hijau.
Setelah mendengar penuturan Sundira, akhirnya warga desa bersepakat menyematkan nama kolor ijo kepada makhluk itu. Yang tidak harus diberitahukan pun warga pasti tahu dia merupakan makhluk berjenis kelamin laki-laki. Warga Desa mulai bertanya-tanya siapa dalang dibalik makhluk yang kini sudah mempunyai nama kolor ijo. Dan kenapa dia melakukan hal tidak senonoh serta merugikan kaum hawa?
Beberapa penangkal dicoba untuk mengurangi eksistensi ketakutan masyarakat terhadap makhluk ini. Salah satunya adalah bambu kuning kecil. Bambu ini banyak digunakan sebagai gelang atau pun kalung. Seseorang yang dianggap orang pintar yang meminta penduduk untuk menjadikan bambu kuning sebagai penangkal. Entah apa yang terjadi padanya dan apa yang orang pintar itu lakukan hingga menjadikan bambu kuning sebagai pilihannya. Tapi, yang jelas warga desa sangat percaya akan hal itu dan melakukan apa yang diminta olehnya.

*****

Sudah seminggu ini mental Sundira memang berangsur pulih. Gadis itu sudah mulai tak takut lagi diajak duduk di teras depan rumah mereka. Tidak seperti dulu yang jangankan berdiam diri di teras depan, keluar kamar saja ia enggan.
Mariati harus bisa menemukan kolor ijo itu bagaimanapun caranya, Ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri, seperti apa makhluk yang membuat anaknya menderita. Kalau bisa dan Pak Kades mengizinkan, Mariati pun ingin membunuhnya dengan tangannya sendiri.
Rapat pertama diselenggarakan di rumah Pak Kades. Hasil dari rapat adalah terbentuknya kelompok resmi penangkap kolor Ijo. Kolor Ijo yang dulunya sangat dihindari dan ditakuti, kini malah dicari-cari, kemajuan yang amat pesat. Tak segan-segan wanita pun ikut menjadi anggota, mereka sudah tak takut lagi akan bahaya yang mengancam mereka. Selama mereka menggunakan bambu kuning di tubuh mereka, semuanya akan baik–baik saja. Kelompok penangkap kolor ijo mulai beroperasi besok, tepat hari kamis. Mereka beroperasi setelah zuhur hingga larut malam. Para wanita hanya diizinkan ikut sampai petang, selebihnya kaum laki-laki yang bekerja.
Hari yang dinanti akhirnya tiba, semua anggota kelompok mempersiapkan peralatan mereka. Dari mulai air minum, bambu kuning runcing, senter, sarung, dll. Entah pencarian mereka akan sampai ke mana tapi yang jelas mereka harus mendapatkan makhluk itu segera. Karena warga desa ingin hidup tentram seperti dulu.
Mereka siap berangkat sebelum wanita paruh baya menghentikan mereka.
“Tunggu, bisa saya titip Sundira disalah satu rumah warga? Saya ingin ikut menangkap makhluk itu.” Seolah menangkap tatapan ragu dari semua orang, Mariati kembali menyela.
“Sundira sudah lebih tenang sekarang, dia tidak pernah mengamuk lagi. Lagi pula saya sudah diizinkan Pak Kades untuk ikut dan menjadi bagian kelompok.”
Semua orang saling pandang, meminta persetujuan.
“Baiklah, Sundira bisa dititipkan di rumah saya saja. Biarkan nanti istri saya yang urus.”
Laki-laki  bertubuh tegap yang sudah sedikit beruban tapi masih sangat bugar ditunjuk sebagai ketua kelompok itu bersuara tegas dan lantang.
“Terima kasih, Gamil.” Mariati menyerahkan Sundira kepada istri Gamil yang tersenyum menyambut uluran tangan Mariati.
Pukul dua siang mereka akhirnya berangkat, menelusuri hutan pertama tempat di mana Sundira ditemukan, tapi mereka tidak menemukan apa-apa. Mereka terus mencari sampai senja beranjak pergi dan langit berubah menjadi gulita. Para wanita di kerumahkan, waktu mereka diperbolehkan ikut mencari sudah selesai.
Mariati menjemput anaknya, berterima kasih pada keluarga Gamil yang sudah menjaga Sundira dengan baik. Sundira menatap Ibunya kemudian tersenyum. Mereka berjalan beriringan dengan tangan Sundira yang menggandeng tangan Ibunya erat.
Ketika sampai di rumah Mariati menggelar dipan di ruang tengah. Hari ini mereka tidak tidur di kamar karena itu merupakan keinginan Sundira. Mariati membaringkan tubuhnya di samping anaknya yang sudah berbaring. Ia mengusap puncak kepala itu sayang.
Sundira menoleh, tersenyum dan merapatkan dirinya pada pelukan hangat Ibunya.
“Aku suka harum baju Ibu. Aku suka pelukan Ibu.” Sundira memeluk Ibunya dan semakin merapatkan tubuhnya. Mariati yang mendengar itu tersenyum, anaknya ternyata masih sama polosnya seperti dulu.
“Bu, tahun ini aku udah enam belas tahun ya?” ucap Sundira menatap lekat manik Ibunya. Mariati yang ditanya seperti itu kaget bukan kepalang. Ternyata anaknya itu sudah mulai bisa mengingat hal-hal yang sempat ia lupakan. Atau mungkin lebih tepatnya hal yang tidak ingin ia ingat karena pikiran dan hatinya kosong semenjak kejadian itu terjadi.
“Iya, Nak. Memangnya kenapa?”
Sundari memainkan ujung bajunya, menunduk resah dan malu. Mariati menangkap gelagat itu. Ia mengangkat kepala anaknya lalu mengusap pipi lembut seperti bayi itu dengan perlahan.
Mariati seolah bicara dengan tatapannya. Ia masih menunggu anaknya itu bicara. Awalnya  Sundira malu mengatakan itu, tapi dari pada ia harus memendam semuanya sendiri akhirnya mulut itu mulai kembali lagi bersuara.
“Emm.. Bu. Aku mau punya cincin berkilau di tanganku seperti  gadis lain.”
Mariati tertegun menengarnya. Di kampungnya anak gadis seusia Sundira memang sudah matang untuk dinikahkan. Tapi, apa mungkin masih ada laki-laki yang mau pada Sundira? Mariati melamun sedih membayangkannya.
“Bu, kenapa malah ngelamun?”
“Nggak papa, Ibu cuma ngantuk. Ayo kita tidur.”
Mariati pada akhirnya lebih memilih mengakhiri pembicaraan mereka. Tanpa sedikit pun memikirkan perasaan Sundira yang kini tengah menggigit bibirnya.

*****

Satu bulan pencarian dilakukan, tapi kolor ijo tetap tak terbongkar identitas aslinya. Setiap minggu selalu ada korban pencabulannya. Meski kini korban berasal dari desa tetangga, tapi itu sungguh membuat Mariati amat jengkel. Kenapa selalu susah jika menangkap orang jahat? Gamil pun tak selalu hadir jika mereka mengadakan rapat, istri dan anak-anaknya sering sakit-sakitan akhir-akhir ini katanya. Pencarian mulai tak kondusif. Pak Kades  ingin menggantikan Gamil dengan yang lain, tapi ada rasa tak enak yang menelusup ulu hatinya. Lagi pula tak ada yang lebih pantas memimpin kelompok selain Gamil.
“Baiklah, mulai besok kelompok saya ambil alih untuk sementara waktu sampai istri dan anak Gamil sembuh.”
Yang lain mengangguk, termasuk Mariati yang mendengarkan dengan saksama di pojok rumah Pak Kades dengan Sundira.
“Pak, besok kita melakukan pencarian juga?” tanya salah seorang pemuda.
“Tentu saja. Memangnya kenapa?” Kepala Desa bertanya keheranan. Memangnya ada yang salah dengan malam jumat? Biasanya juga mereka melakukan pencarian malam jumat.
“Tapi, besok jumat keliwon, Pak. Biasanya makhluk gitu lebih kuat dari biasanya kalau di Malam Jumat Keliwon.”
“Itu tahayul, nggak usah khawatir. Lagi pula kan kita punya penangkalnya.”
Setelah Pak Kades mengatakan semua itu, semua orang bubar secara teratur dari rumahnya, termasuk Mariati. Ia menjabat tangan Pak Kades, kemudian pamit.
Hari pencarian kolor ijo tiba, Pak Kades mengatakan untuk pencarian kali ini wanita tidak usah dilibatkan. Sebenarnya Pak Kades sedikit memikirkan apa yang dikatakan pemuda yang kemarin bertanya padanya. Pak Kades mewanti-wanti jika sore telah tiba tidak ada yang boleh berkeliaran di luar rumah dan rumah pun harus dikunci rapat-rapat. Sundira yang mendengar itu langsung bersembunyi di balik punggung Ibunya.
Kerumunan mulai membubarkan diri, dan pencarian mulai dilakukan kembali. Mariati bergegas mengunci pintu rumahnya rapat, menutup segala jendela dengan tirai-tirai tebal yang tak tembus pandang. Ia kemudian mengajak Sundira masuk ke kamar dan menutup seluruh tubuh dengan selimut. Mariati pun merasakan itu. Entahlah, kali ini udara di sekitarnya terasa sangat mencekam. Semoga saja tidak ada sesuatu yang terjadi.
Malam sudah semakin larut, sebentar lagi jam menunjukkan pukul sebelas malam. Mariati belum juga terlelap, ia masih menunggu rombongan Pak Kades. Ia sangat khawatir, namun derap langkah kaki yang menandakan mereka sampai perkampungan belum juga tertangkap indera pendengarannya. Tepat pukul dua malam saat Mariati akan menutup matanya, ia mendengar orang-orang berteriak dan derap langkah yang sangat terburu-buru. Mereka seperti sedang mengejar-ngejar sesuatu.
Tergesa-gesa Mariati membuka pintu rumahnya, ia tutup kembali pintu itu dan menguncinya rapat, takut Sundira bangun dan menyusul dirinya. Di depan sana ia melihat rombongan Pak Kades yang kelihatan sangat kelelahan. Napas mereka memburu, keringat mengucur deras dari pelipis mereka. Mariati menghampiri rombongan itu lebih dekat. Alangkah terkejutnya ia melihat sosok makhluk persis yang digambarakan anaknya, beberapa meter di depannya.
“Kalian pikir, bambu kuning yang kalian katakan penangkalku itu akan berhasil menakutiku begitu. Dasar orang-orang tolol,” ucapnya sarkas. Menatap tajam gerombolan di hadapannya dengan angkuh.
“Dan kelihatannya kalian payah sekali, baru diajak lari seperti itu saja sudah ngos-ngosan. Dasar kerdil.”
Mariati yang mendengar itu marahnya bukan main. Lahar panas seolah berada di atas kepalanya kini. Ia mengepalkan tangannya erat, menyapu pandang ke segala arah, guna mencari sesuatu yang bisa menyumpal mulut kotor dan bajingan makhluk itu.
Tatapan Mariati terfokus pada bambu kuning besar runcing yang berdiri di salah satu bilik warga. Segera ia mengambil bambu kuning itu. Ia perlahan berjalan mengendap sambil membawa bambu itu, tujuannya adalah dia harus tiba di depan makhluk itu dan menghunuskan segera bambu itu ke jantungnya. Kebanyakan mitos yang ia dengar makhluk-makhluk seperti itu bisa mati jika dihunuskan sesuatu ke dalam jantungnya. Dan ia sangat percaya bahwa orang pintar di desanya tidak salah memilih bambu kuning sebagai penangkal.
Saat jaraknya dan makhluk itu tinggal beberapa senti serta makhluk itu tidak menyadari keberadaanya. Ia berlali dan sekali hentak langsung menghunuskan bagian runcing bambu yang dipegangnya. Kolor Ijo itu sempat kaget dan memekik kesakitan, tapi sama sekali tidak Mariati hiraukan. Seolah sedang diselimuti kabut dendam, Mariati terus tekan bambu itu dengan kencang dibantu oleh beberapa warga. Darah mengucur deras dari jantungnya, kolor ijo itu mulai terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Ia tersenyum menatap kerumunan yang menatapnya antara takut dan ngeri.
“Terima kasih, karena sudah menyelamatkanku Ibu Mariati. Aku sudah muak begini tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku sudah telanjur terikat. Maafkan aku karena membuat Sundira seperti itu, selamat tinggal. ”
Kolor ijo itu pun ambruk dengan mulut menganga dan mata terbuka. Mariati termangu, suara itu kan? Mariati mematung dengan membekap mulutnya. Sampai dua anak kembar berumur enam tahun, serta wanita berambut sepunggung yang pernah menjadi tempat dititipkan anaknya menghampiri mereka.
“Ayah..”
Mariati ambruk ke lantai saat itu juga.


***** 

Note : Cerpen ini tergabung dalam buku Sayembara Sastra Bunga Tunjung Biru 2017 'Perempuan Dalam Senja yang Terbalik'

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Hanya Rangkaian Cerita yang Tak Tahu Akan Menjadi Apa

Aku Sedang Membaca Kata-kata Dalam Tempurung Kepalamu

CERPEN - Toples Selai Kacang