CERPEN - Mengabadikan Kenangan







Oleh : Sintia NA




Aku menunggu, disebuah kursi bising tempat berlalu-lalang ingatan dan speaker-speaker tanda keberangkatan perjalanan dibunyikan. Sebentar lagi kamu akan datang, katamu di akhir chattingan kita. Sembari menunggu, kutimang-timang waktu, kuabadikan kenangan lewat lensa kamera. Aku lesatkan pandangan ke segala sudut yang bisa tertangkap retina.

Perjalanan selalu menyimpan kenangan-kenangan yang sayang dilewatkan katanya. Sebab itulah, aku tak ingin melewatkan sebuah kejadian begitu saja. Aku menemukan pasangan muda yang sepertinya suami istri. Mereka membawa seorang anak berumur 3 tahun yang sangat putih. Sepatu anak itu lepas, lalu dia memanggil ayahnya dengan imut. Menunjuk-nunjuk kalau sepatunya terjatuh. Lantas, ayah anak itu mengambil alih gendongan dari ibunya, menurunkan anak itu kemudian memakaikan sepatunya. Sebagian orang mungkin menganggap itu adalah hal biasa. Tapi, menurutku itu adalah pengajaran sejak dini dari seorang ayah untuk anaknya. Bisa saja, si ayah memakaikan sepatu anaknya tanpa harus mengambil alih gendongan dari ibunya yang sangat nyaman. Ayahnya memilih demikian untuk mengajarkan anaknya bahwa, kamu tidak bisa diam saja jika menginginkan sesuatu.


Tak lama, kamu pun datang, dengan senyum merekah terpatri di wajahmu yang kelelahan ; kemarin aku menghabiskan malam tahun baru sampai larut, ceritamu.
Tumpangan kita datang, dengan jejelan berpuluh-puluh kepala yang membuat sumpek. Ekor matamu menyapu isinya, mencari-cari tempat yang sekiranya masih kosong untuk aku duduki. Kakimu masih sakit, aku ingin kamu duduk katamu.

Dua hari yang lalu aku memang jatuh dari motor, saat ingin pergi ke sebuah pertunjukan teater. Driver ojek online yang aku tumpangi tanggung ketika  di lampu merah, lantas menabrak motor di depannya. Alhasil aku dan dia terjatuh, menyebabkan kakiku memar. Rasanya sakit sekali. Saat itu aku langsung menangis di pinggir jalan. Lebih baik aku patah hati Tuhan, dibandingkan aku harus merasa sakit begini, ucapku dalam hati. Sambil membayangkan beberapa dosa yang aku perbuat seperti hari itu merupakan hari di mana aku akan mati. Mungkin karena aku tidak meminta izin pada ibu juga makanya aku begini, batinku terus saja berkecamuk.

Pertolongan pertama seperti mengompresnya dengan es batu, memijit-mijit pelan serta mengolesinya dengan hot cream sudah dilakukan. Tak lama dari situ aku melanjutkan perjalanan karena memang tak mungkin aku pulang lagi. Jauh-jauh dari Karawang ke Cikini harus ada yang aku dapatkan, tidak ingin pulang dengan tangan hampa, tekadku.

Kita naik dari stasiun manggarai menuju stasiun Bekasi. Memang tak ada yang langsung ke Cikarang. Ketika kamu asyik dengan kamera yang kamu genggam untuk mengabadikan kenangan, aku pun asik dengan hand phone yang aku gunakan untuk berselancar di sosial media. Awalnya kamu berdiri. Di tengah jalan ada penumpang yang turun, kamu pun pada akhirnya bisa duduk dan memilih untuk memejamkan mata.

Tiba di stasiun Bekasi kita langsung turun dengan kamu yang selalu memastikan aku baik-baik saja. Kita menunggu di sebuah kursi yang menghadap peron 3 dengan aku yang bertanya beberapa hal padamu. Aku tahu, kamu sebenarnya kelelahan dan malas sekali untuk menjawabnya. Apalagi kulihat, kamu sedang asyik dengan duniamu sendiri : mengabadikan kenangan. Tapi, maafkan aku. Aku hanya tidak suka jika sebuah perjalalanan hanya dilewati dengan hening. Kereta tujuan akhir kita pun akhirnya datang, saat aku menanyakan tahun kelahiranmu. Kita terpaut dua tahun, kamu lebih tua, tapi aku merasa kita seperti seumuran. Sebab itulah dari awal mengenalmu aku tak pernah memanggilmu dengan embel-embel sampai sekarang saat aku tahu kau lebih tua sekalipun. Karena lidahku memang sudah terbiasa mengucapkannya.

Kita menumpangi gerbong yang berbeda, aku di gerbong khusus perempuan karena permintaanmu. Katamu, gerbong campuran itu sangat penuh. Padahal sebenarnya tak masalah untukku, tapi ya sudah aku menurut saja jika itu memang yang kamu mau. Karena aku juga tahu kamu melakukan hal itu untuk kenyamananku. Setelah kita memasuki gerbong masing-masing, aku menemukan bola matamu yang lega di ujung pintu penghubung gerbong karena sudah melihat dan memastikan aku baik-baik saja. Aku tersenyum. Kamu memang selembut dan sebaik itu.

Jujur saja, aku sedikit menyesal dan banyak bahagianya ketika melakukan perjalanan hanya berdua denganmu. Menyesal karena setelah perjalan ini berakhir aku pasti akan menyukaimu.


******

Cerpen ini menjadi salah satu cerpen yang terpilih untuk di bukukan dalam sebuah buku kumpulan cerpen yang berjudul 'False Memories' yang dilaksanakan oleh Penerbit Ellunar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Hanya Rangkaian Cerita yang Tak Tahu Akan Menjadi Apa

Aku Sedang Membaca Kata-kata Dalam Tempurung Kepalamu

CERPEN - Toples Selai Kacang