Kebahagiaan Seorang Ibu





‘Jika kamu merasa hidup terlalu menyesakkan dan sangat sulit untuk kamu hadapi tengadahkan kepalamu, berapa banyak kehidupan yang harus bertarung dengan kematian setiap harinya? Tapi, tetap saja dijalani dengan suka cita. Apakah burung-burung, matahari, angin, tumbuhan, dan semua jenis makhluk hidup lainnya pernah mengeluhkan hidup mereka pada Tuhan? Mereka mungkin memang tak punya akal, tapi jika mereka mau bukankah mereka bisa tak menjalani kehidupan mereka dengan baik? Bisa saja mereka tidak menjalankan apa yang menjadi tugas mereka. Matahari berhenti untuk terbit misalnya. Tumbuhan berhenti untuk tumbuh. Mereka tahu, Tuhan sudah memberikan porsi kehidupan masing-masing pada mereka. Jika mereka harus mati pun, mereka akan sangat bahagia karena bermanfaat untuk banyak orang. Lantas apa yang kita khawatirkan sebagai seseorang yang sudah Tuhan karunia kesempurnaan akal? Apa yang harus tidak kita syukuri dari kehidupan ini?’

 

            Kasturi mengklik enter baris terakhir tulisan dalam blog pribadinya. Ia menyenderkan punggungnya yang sedikit tegang pada sandaran kursi. Memejamkan matanya, mengusap beberapa jejak air mata yang tertinggal di sana. Ia beranjak, membuka lemari es. Mengambil satu mangkuk penuh banana split yang ia buat kemarin. Wanita itu berpikir jika ia mempunyai sebuah blog pribadi, ia akan merasa lebih nyaman dan tenang untuk meluapkan segala pemikiran dan keresahan-keresahannya. Tapi, dugaannya ternyata melesat jauh. Semakin blognya bergembang, semakin banyak orang yang bertanya dan mengiriminya banyak pesan. Baginya tak masalah jika ada beberapa orang yang ingin berbagi pengalam dan berbagi cerita dengannya. Tapi, ia tidak pernah berpikir, bahwa pengalaman-pengalam orang-orang itu akan mempengaruhi perasaannya begitu banyak. Ia merasa tertekan, terutama jika ia dituntut harus memberi solusi atas masalah-masalah itu. Ia hanya perempuan berusia dua puluh empat tahun jurusan akuntansi-auditing yang sangat menyukai puisi dan prosa. Tidak ada hubungan dengan psikolog sama sekali. Ia akan membantu jika itu diperlukan dan ia sanggup. Tapi, jika melebihi kapasitas yang ia punya, ia tidak bisa. Apakah ia harus menutup blog pribadinya? Dan menonaktifkan emailnya beberapa waktu? Pemikiran itu akhir-akhir ini sering melintas di benaknya. Tapi, apa ia tidak akan membuat semua orang kecewa? Haruskah ia lebih mementingkan kebahagiaan orang lain dibandingkan dirinya sendiri? Kecambuk pikiran itu berhenti di sana. Kasturi bersiap untuk jalan-jalan sore di sekitar perumahan tempat tinggalnya. Sepertinya ia memang membutuhkan udara segar. Untuk sedikit menyegarkan pikirannya yang sedang carut-marut.

 

******

            Seperti hari-hari sebelumnya. Ketika kakinya mulai lelah berjalan, ia akan mendudukan dirinya di suatu tempat yang menyenangkan. Sebuah danau yang mempunyai air sangat jernih. Di sampingnya ada taman bermain anak-anak yang setiap sore selalu disesaki oleh pedagang kaki lima atau pun anak-anak yang bermain puas ditemani orangtua mereka. Orang-orang di sana selalu menyapanya ramah. Kasturi sangat nyaman dengan orang-orang dan lingkungan seperti ini. Ketika ia di taman itu, ia tak pernah lupa menemui bapak-bapak pedang kaki lima yang selalu memberikannya bonus jajanan yang ia suka jika membeli banyak. Pernah suatu pekan, ia tidak mengunjungi tempat itu, minggu berikutnya seseorang yang selalu dia panggil Pak Kus itu langsung menanyainya berbagai pertanyaan. Pak Kus bilang, dia selalu mengkhawatirkan anak-anak muda yang tinggal jauh dari orangtuanya. Apalagi, jika seseorang tak terlihat beberapa hari. Takut terjadi hal yang tidak-tidak seperti yang kebanyakan terjadi di televisi. Kasturi mengatakan padanya untuk tidak usah khawatir. Ia ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya, sebab itu lah ia tak bisa mengunjungi tempat itu seperti sebelum-sebelumnya. Perkataan Pak Kus tak sepenuhnya salah atau pun benar. Tinggal sendirian di perantauan tidak semengerikan yang ia katakan. Tapi, memang ada saat-saat di mana kita merasa menjadi orang yang tidak memiliki siapa-siapa, ketika kita sakit misalnya. Atau pun ketika hari pertama bulan Ramadhan. Ketika, orang-orang menghabiskan suka cita bersama keluarga menyambut bulan Ramadhan dengan membuat menu makanan yang banyak sekali. Seperti rendang, ketupat, dll. Anak rantau harus berlapang dada, jika mereka hanya bisa menikmatinya via telepon atau video call saja. Beruntung jika mereka mempunyai tetangga yang sangat baik dan berbagi. Jika tidak, hari-hari spesial terjadi begitu biasa saja.

            Kasturi tidak pernah menyesali keputusannya, meski beberapa kali ia sering menangis karena beberapa hari perayaan tak bisa pulang. Obrolannya kali ini dengan Pak Kus sangat lama, sampai es krim di tangannya sudah setengah mencair. Kasturi berpamitan, ia kembali mendudukan dirinya di kursi favoritnya : menghadap danau. Sepertinya es krim yang ia beli tadi tidak akan bisa dimakan di tempat ini, ia memutuskan menyimpannya untuk ia masukan ke kulkas nanti. Sekarang ia membuka penutup cup untuk jajanan yang ia beli selanjutnya. Ia menyebutnya jasuke. Jagung manis yang dipreteli, kemudian dimasukan ke dalam cangkir plastik seperti cup pada umumnya. Keju yang berhamburan di atasnya sangat banyak, belum lelehan susu yang kental. Udara sore yang sejuk dan menenngkan menambah kekhusyuan Kasturi  ketika mencicipinya. Tak lama ia menghabiskan jasuke itu, saat ia hendak membuang cup itu ke tong sampah di belakangnya, Kasturi  seperti mendengar sebuah tangisan. Ia mencari-cari asal suara itu. Matanya menelusuri setiap tempat yang bisa ia temukan, kornea matanya berhenti di sana. Terfokus pada sosok Ibu berkursi roda yang sedang menutupi wajahnya di bawah sebuah pohon. Katuri segera menghampiri Ibu itu. Ia mengelus pundaknya pelan, menenangkan. Sang Ibu merespon, menengadahkan wajahnya, setelah sebelumnya menghapus beberapa jejak air mata yang masih tersisa di pipinya. Ibu itu menatap Kasturi sendu, Kasturi berjongkok di hadapannya. Ia menggenggam tangan yang sedikit kerput itu dengan lembut. Tidak ada yang berbicara sepatah kata pun untuk beberapa menit. Sampai Ibu itu membuka mulutnya,

“Ibu tidak pernah keberatan jika anak-anak Ibu tak mau mengurus Ibu. Ibu tidak pernah ingin membebani mereka. Melihat  mereka tumbuh dengan baik saja, Ibu sudah sangat bahagia.”

“Lantas kenapa Ibu menangis?”tanya Kasturi lembut.

“Ibu hanya ingin ditengok, tidak lebih. Ibu benar-benar merindukan mereka.”

 

Kasturi tertegun. Apakah Ibunya juga mengalami hal seperti ini? Tiba-tiba pikirannya melayang jauh. Mengingat senyuman sang Ibu yang sudah beberapa bulan ini tak pernah dilihatnya.

“Selama waktu Ibu menunggu kepulangan anak-anak Ibu. Jika aku punya banyak waktu luang, aku temani Ibu ya?”

Mata seorang Ibu yang tadinya meredup kini berbinar kembali. Ia tersenyum amat cerah, seperti senja yang berkilauan sore itu. Wanita paruh baya itu amat senang. Meski ia tidak tahu kapan Kasturi akan mempunyai waktu untuknya. Tapi, setidaknya ia tidak akan kesepian lagi untuk waktu yang lama. Ibu itu langsung mengangguk dan memeluk Kasturi dengan erat. Minggu depan Kasturi benar-benar ingin dan harus pulang menemui Ibunya, batinnya.

 

 

 

 

 

 

 

Cikarang, 08 September 2020

(Sintia NA)

****** 


Cerpen ini masuk ke dalam buku antologi lomba yang diterbitkan oleh Penerbit Binar Media.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Hanya Rangkaian Cerita yang Tak Tahu Akan Menjadi Apa

Aku Sedang Membaca Kata-kata Dalam Tempurung Kepalamu

CERPEN - Toples Selai Kacang