CERPEN

Akasia untuk Alengka
Oleh : Sintia NA


Nyatanya perasaan yang telanjur tumbuh dan semakin dalam sulit untuk dimatikan. Padahal dengan jelas aku sadar, hanya pengabaian yang aku dapatkan atas semuanya. Maaf. Karena tak bisa memenuhi janji, untuk selalu berdiri kokoh meski badai datang menghadang.
Karena tanpamu, aku hanya pohon rapuh tanpa ranting yang menunggu untuk tumbang.
Aku tahu kau lelah, aku juga. Namun, bukankah aku tak boleh menyerah sampai di sini. Jika tak ingin semuanya menjadi sia-sia? Tak  adakah untukku kesempatan lagi? Bukankah kau pernah mengatakan “Tak ada kata sempurna untuk menggambarkan manusia. Manusia selalu punya celah untuk melakukan kesalahan.” Atau memang kesalahanku tak termaafkan?
Maaf. Karena aku tak bisa menjadi apa yang kau inginkan. Aku malah membuatmu merasakan sakit yang begitu dalam. Tapi, sungguh aku menyesali semuanya. Tak bisakah, kita memulainya dari awal? Kenapa, kau hanya diam? Tak pantaskah, telingaku mendengar lantunan syair-syair merdu yang keluar dari bibirmu itu? Apa yang harus kulakukan agar kau mau kembali bicara padaku? Aku merindukanmu, sangat. Seperti seorang pengembara yang membutuhkan air segera untuk melepas dahaga. Jika tidak, ia tak akan bertahan dan mati saat itu juga. Rasanya mataku perih sekali, untuk berkedip saja sangat sulit. Ini terlalu menyesakkan untukku. Di sini aku yang salah. Tapi, kenapa harus kau yang mengalami ini semua. Kumohon, bangunlah. Apa kau tidak merasa kedinginan berbaring di sini? Lihat, awan hitam bergelayut manja di atas sana. Pasti sebentar lagi hujan akan turun.
Tubuhku ditarik dan dicengkram dengan kuat. Aku hanya bergeming, mengikuti langkah orang yang membawaku. Rasanya aku ingin sekali berontak. Tapi, tubuhku mengatakan sebaliknya. Ia terlalu lelah, semua tenaganya terkuras habis. Kembali, aku meninggalkanmu sendiri. Aku memang kejamkan?

*****
Malam. Penantianku akanmu tak pernah hilang. Terimakasih karena selalu datang. Karenamu, dia ada. Meski bayang itu semu, tak bisa diraba oleh mata telanjang. Setidaknya perasaanku mengatakan ia ada, dan aku mempercayai itu. Aku melihat langit yang semakin temaram. Tak ada satu pun bintang yang menemani bulan yang tertutup awan. Atau mungkin, sebenarnya ia memang ada tapi tak terlihat. Ia lebih memilih menemani dan mengawasi dalam diam. Kau tahu bulan, aku berpikir sepertinya kisah kita tak berbeda jauh. Aku memang tak bisa melihatnya. Tapi, perasaanku mengatakan ia ada. Itulah yang selalu membuatku sesak dan bahagia secara bersamaan. Bahagia karena ia tetap peduli dan selalu ada. Sakit karena dia tak pernah mau menemuiku. Kenapa ia tak pernah muncul di hadapanku? Aku mengerang. Mengetuk-ngetuk dinding pembatas antara aku dan keindahan yang sudah lama sekali tak terbuka. Terus menerus, hingga akhirnya aku bisa melihat langsung langit malam, tanpa lagi adanya penghalang. Kuhirup udara sedalam-dalamnya. Tak kupedulikan cairan merah pekat yang memenuhi lantai. Sesak-sesak itu masih terasa.
Rasa nyeri masih berdenyut hebat di hati. Seandainya, semuanya tak kulakukan. Mungkin, tidak akan berakhir seperti ini. Aku menajamkan pendengaran. Langkah kaki tergesa membuatku mengalihkan pandangan ke belakang. Di sana berdiri abangku, yang menatap dengan penuh rasa khawatir. Apa yang aku lakukan memangnya? Ah. Pasti karena ini. Kuangkat tangan kanan tinggi-tinggi, kemudian tersenyum miring.
“Lengka, apa yang kau lakukan?” Abang meninggikan suaranya dengan terengah. Sepertinya dia memang berlari menaiki tangga untuk sampai di sini lebih cepat. Aku menunjuk dinding teransparan itu dengan telunjuk sebagai jawaban. Dia menghela napas lelah dan sedikit lega.
“Jika, kau hanya ingin membuka kaca itu, kenapa harus menghancurkannya? Kau hanya perlu membukanya seperti ini.” Ia membuka besi kecil, dan memutarnya perlahan. Aku tertegun. Kenapa sebelumnya itu tak pernah terpikirkan? Tatapan itu, kenapa melihatku dengan begitu iba?
“Ayo sini, kaka obatin dulu luka di tanganmu itu, de.” Setelah menutup dinding pembatas itu, dia menutupinya dengan tirai. Menarik dan mendudukanku di sofa.
“Tunggu di sini sebentar. Kaka, ambil kotak P3K dulu.” Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa, seolah-olah aku lupa, bagaimana caranya melakukan hal-hal kecil seperti itu.

*****
Angin berembus perlahan. Menerbangkan rambut hitamku helai demi helainya. Kutatap langit, dia tetap biru, tak berubah sedikit pun. Hamparan bunga yang menemani dudukku juga tak berubah. Mereka tetap cantik dan memesona. Rasanya, di sini aku seperti sendiri. Hanya aku yang tak bahagia. Tak ada yang mengerti akan apa yang kurasa, sedikit pun. Bagaimana mungkin aku akan tertawa dan bahagia. Jika, diriku sendiri yang menyebabkan orang yang begitu berarti dan aku cintai harus terenggut dengan segera selamanya. Aku benci pada diriku sendiri. Kenapa tak ada yang bisa kulakukan? Bahkan hanya untuk menyelamatkan seseorang yang kucintai?! Aku berteriak sekencang yang aku bisa. Tenggorokanku sakit, rasanya panas sekali. Aku memukul-mukul dengan kencang kursi yang kududuki. Aku benci menjadi wanita lemah. Aku ingin mati saja.
“Lengka, kau kenapa?” Tak kuhiraukan sedikit pun teriakannya. Aku terus memukul-mukul, menangis, meronta. Lihat, bahkan kaki ini tak bisa digerakan sedikit pun. Jangankan berjalan. Menopang tubuhku sendiri saja tak bisa. Aku terlonjak kaget tubuhku melayang. Perasaan hangat tiba-tiba menjalar di sekitar punggung. Aku mendongak. Abang, aku kembali menangis. Menyembunyikan isakan demi isakan di dada bidangnya.
“Hey, jangan menangis. Abang di sini, sayang.” Dia mengecup kepalaku sayang.
“Hari ini Ibu pulang. Setelah menerima telepon kau masuk rumah sakit kemarin. Ibu langsung pulang keesokan paginya. Apa kau senang?” Aku mengangguk.
Kami berjalan dengan diam, aku mengalungkan tangan ke lehernya. Tiba-tiba pandanganku terfokus pada bocah perempuan mungil. Dia begitu cantik dengan bola mata birunya yang berkilau. Rambutnya ikal, kulit putih pucat, menjadikan dia seperti Barbie. Senyumnya juga sangat manis. Serta tawa itu begitu renyah.
“Namanya, Turi. Dia memang berdarah barat. Lebih tepatnya campuran belanda. Makanya matanya berwarna biru. Dia menjadi pasien rumah sakit ini hampir lima tahun. Dan jangan salah dengan usianya. Meski ia mungil. Tapi, dia berumur empat belas tahun.”
Aku menatap takjub sekaligus iba. Aku pikir dia anak SD. Di tengah penyakitnya dia masih bisa tertawa bahagia seperti itu? Aku mengernyit membayangkannya.
Kira-kira apa penyakit yang dideritanya?
“Aku tak tahu apa penyakitnya. Tapi, banyak orang-orang di sini yang mengatakan, dia adalah anak yang spesial.”
Aku tatap manik abang penuh rasa penasaran. Dia hanya menggeleng tak tahu.
Saat kami melewatinya, anak itu tersenyum sangat manis pada kami. Atau lebih tepatnya mungkin tersenyum padaku.

*****

Pagiku selalu berlalu dengan membosankan. Sebab itulah aku lebih menyukai malam. Setidaknya ketika malam tak akan ada yang mengejekku jika aku tak bahagia, karena gelap.
Ibu dan abangku telah pergi sejam yang lalu. Abang harus ke kampus katanya. Sedangkan Ibu ada beberapa urusan yang harus ia selesaikan. Jadi, apa yang bisa kulakukan di pagi membosankan ini. Jam masih menunjukan pukul 09.00.
Aku menoleh, di ujung ruangan depan pintu. Sepertinya ada seseorang yang menuju kemari. Dia seperti sedang berusaha membuka pintunya. Kuamati pintu itu beberapa menit, hingga akhirnya. Sosok itu muncul. Aku melotot, dia kan.
Anak yang kemarin.
“Hallo, ka. Permisi. Maaf kalo aku ganggu kaka.” Gigi putihnya sedikit kotor. Banyak jejak-jejak makanan di sana, dan berwarna coklat.
“Kenapa kaka melihat aku gitu?” Dia menutup mulut dengan tangan putihnya yang pucat.
“Maaf, ka. Tadi aku makan coklat banyak dan beberapa snack. Aku lupa membersihkan setelahnya. Tapi, tenang. Napasku nggak bau ko, ka.” Aku diam. Kembali melihatnya dengan mata penuh selidik. Dia memakai pakaian berwarna biru sepertiku, dengan kursi roda. Pantas saja dia terlihat seperti anak kecil. Dan apa itu yang dia genggam di tangan kanannya. setangkai bunga? Tunggu, itu bunga apa. Aku memicingkan mata.
Dia bergerak mendekatiku. Memutar kursi rodanya dengan pelahan.
“Ini namanya bunga akasia, ka. Cantik kan?
Turi benar. Bunga itu amat cantik. Warna kuning yang indah. Batang yang panjang dengan daun yang mengelilinginya seperti tanaman putri malu. Kelopaknya yang kuning bulat, seperti ladu makanan orang india.
“Ini Akasia kuning.” ia menatapku lembut, “bunga akasia mempunyai banyak warna. Tapi, aku lebih suka memberikan bunga ini padamu, ka. Karena bagiku. Kamu itu mirip sekali seperti bunga ini.”
Aku tersenyum mendengarnya. Dia penghibur yang tak buruk untuk pagi ini.

*****

Setelah kejadian pagi itu, Turi selalu ke kamarku setiap pagi. Aku tak tahu apa alasan yang sebenarnya. Ketika aku Tanya kenapa ia melakukannya ia hanya menjawab ingin. Sebenarnya tak masalah karena dia bukan anak cerewet seperti yang aku kira. Dia selalu diam, dan hanya menatapku dengan senyum indahnya itu.
Pintu kamar diketuk. Abang terlihat di sana dengan sekotak coklat dan sebuah buku bersampul abu-abu di tangannya. Kertasnya sedikit menguning karena debu dan waktu, sepertinya.
“Ini, kaka bawa coklat kesukaan kamu.” Dia tersenyum, pikiranku melayang. Sebenarnya bukan coklat yang aku sukai. Tapi, kenangan tentang itu.
Suatu pagi. Ketika aku sedang memotong tumbuhan liar di pekarangan. Ia datang dengan sebuah kotak, yang berisikan coklat. Ia berkata “Ini adalah kesempurnaan proses. Ia terasa sangat manis setelah melalui proses yang sangat panjang dan melelahkan. Ia telah sempurna. Bukankah, proses penyempurnaan kita sebulan lagi dilakukan?” Ia tersenyum manis dengan pipinya yang tirus dengan lesung pipi yang menawan, serta mata yang tenggelam.
Aku selalu menyukai senyum itu, sangat. Ia selalu bisa membuat apapun menjadi lebih manis hingga aku tak bisa melupakannya begitu saja. Dia memang laki-laki yang baik. Sedangkan aku? Apa yang aku lakukan? Kenapa aku memperlakukannya begitu buruk? Menjalin hubungan di belakangnya, ketika pernikahan kami akan segera dilaksanakan? Tak ada yang lebih buruk dari itu. Aku bodoh. Aku menyesalinya setelah ia memutuskan menghindar, dan meninggalkanku untuk selamanya. Kenapa dunia begitu kejam padaku. Aku benci diriku sendiri. Aku berdiri, meraung. Tak kupedulikan rambut yang kini tak beraturan. Yang aku butuhkan sekarang hanya pelampiasan. Aku tak layak hidup. Kematian adalah yang layak aku dapatkan. Kupecahkan pas bunga yang ada di dekatku. Mengiris tanganku dengan perlahan. Aku sedikit meringis. Ini tak seberapa atas semua yang kulakukan. Aku tersenyum miring.
Semuanya terjadi begitu cepat. Pipiku panas. Laki-laki dengan rambut hitam itu menamparku. Napasnya terengah. Pakaian yang ia kenakan pun tak kalah berantakannya denganku.
“Apa yang kau lakukan, hah? ” Matanya merah menyala. Ia menarik tanganku yang berdarah. Aku hanya menunduk.
“Kau ingin mati? Menyusul Aldianmu itu. Begitu? Lalu setelah itu bagaimana. Apa kau yakin kau akan bahagia setelah itu. Haha? Jawab aku Alengka. Jawab.”
Ia meremas bahuku kencang dan mengguncangnya. Urat-urat terlihat jelas di lehernya.
“Katakan sesuatu. Kau punya mulutkan? Apa kau tega. Membiarkan aku dan Ibu sedih karena kepergianmu dengan cara bunuh diri? Kenapa kau egois Alengka? Kenapa? Setelah Ayah meninggal aku hanya punya kalian. Dan sekarang kau memilih pergi?” nadanya mulai melemah “aku tak ingin melihatmu terus begini. Kau membuatku merasa bersalah. Aku tak bisa menjadi kaka yang baik untukmu. Maafkan aku Alengka.”
Ia menangis kesakitan. Aku penyebabnya. Aku hanya pembuat onar dan pembawa kesedihan untuk semua orang.
“Tidak. Kau kebahagiaanku, Alengka. Jangan pernah berpikir macam-macam. Aku sangat menyayangimu. Entah itu dulu, sekarang, dan selamanya.”

*****

Ini adalah lembaran terakhir yang kubaca dari buku usang itu. Buku Diary Aldian yang abang berikan tempo hari.
Aldian telah memaafkanku. Bahkan dia merasa bersalah, karena dia tak bisa menjadi pria yang aku inginkan. Hingga akhirnya aku berselingkuh. Padahal tidak begitu. Aku hanya, seperti melihat cinta pertamaku pada laki-laki yang membuat hubungan kami berakhir. Aku terlalu merindukannya hingga aku mengira itu dia. Maafkan aku Aldian. Begitu bodohnya aku, menghianatimu.
Aku kembali terisak. Rasanya begitu menyesakkan. Dadaku nyeri. Aku menepuk-nepuknya dengan kencang. Rasa sakit, kumohon.  Hilanglah.
“Ka, Alengka. Kenapa nangis?” Kuusap wajahku dengan terburu-buru, kemudian menggeleng.
Turi mendekatiku yang duduk di bawah pohon taman rumah sakit dengan kursi rodanya.
“Katanya, hari ini. Kaka, mau pulang ya?” Tatapan matanya berubah sendu,
“nggak ada yang bisa aku ajakin main dan aku ganggu lagi dong.” Aku mengacak-acak rambutnya. Begitu halus.
“Penghuni rumah sakit ini tak ada yang secantik kaka. Kebanyakann hanya orang tua. Bisa dihitung jari anak-anak seumuranku.” Bibirnya mengercut. Anak ini benar-benar lucu.
“Ka, kenapa kaka ga pernah bicara? Padahal aku yakin suara kaka sangat bagus?”
Aku menerawang. Dia benar. Bahkan aku sendiri lupa kapan terakhir kali aku bicara.
“Sebelum kaka pergi. Aku mohon. Kaka bicara ya. Aku mau denger suara kaka.”
Dia merengek. Aku menggeleng menanggapinya.
“Ayolah, ka. Untuk yang terakhir.” Bibirnya melengkung ke bawah.
Aku tak tega membuatnya sedih. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku tak bisa, lebih tepatnya aku tidak mau.
“Kalo kaka, mau bicara sama aku. Nanti aku kasih hadiah deh.”
Hadiah? Dia lucu sekali. Dia pikir aku anak kecil yang akan luluh hanya dengan diberi hadiah. Aku terkekeh.
“Ayolah, ka. Kumohon.” Ia menangkupkan kedua tangannya di dada dengan bibir yang semakin melengkung ke bawah. Dan jangan lupakan mata biru itu yang sedikit berkaca-kaca.
Aku menghela napas menyerah, baiklah.
“Turi….” Itu adalah kata pertama yang kuucapkan setelah sekian lama. Rasanya seperti, entahlah. Aku bingung bagaimana mengatakannya. Suaraku, ternyata masih sama.
“Kan, benar. Suara kaka bagus.” Aku merasakan tubuhku menghangat. Ia menggesekan hidungnya di bahuku.
“Kaka, baik-baik ya. Jangan sedih lagi.” Di balik tangannya itu ia mengeluarkan sebuah bunga kuning yang cantik. Bunga itu kan.
“Ka, inget. Meski sosok yang kita cintai telah pergi untuk selama-lamanya. Tapi, Ia akan  selalu ada dan menjaga kaka secara diam-diam. Layaknya bunga ini yang mempunyai arti cinta dalam diam.” Dari mana dia tahu.
“Aku bisa melihat masa lalu seseorang dari pancaran mata, ka.”
Senyum itu begitu tulus. Sejenak aku terpaku melihatnya.
“Jadi, selama ini…” Suaraku masih serak dan sedikit sakit.
“Ya, aku tahu semuanya. Dia tidak benar-benar pergi ninggalin kaka. Dia tetap di sini. Hanya alam kita yang berbeda sekarang.” Ia menatap langit, “tak semua cinta akan berakhir indah memang. Meski begitu, cinta adalah suatu anugerah yang tak boleh disesali keberadaannya. Ia istimewa dan berharga dengan semua rasa yang mengiringinya.” Ia tersenyum, bukan seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa. “rasa sakit hanya segelintir rasa yang akan membuat kaka lebih tegar dan menjadi wanita yang tangguh. Tuhan selalu punya cara untuk membuat kita bahagia di esok hari. Meski harus melewati proses menyakitkan terlebih dahulu. Percayalah ka. Suatu saat nanti yang entah itu kapan. Pasti akan ada yang mencintai kaka lagi.
Hidup kaka terlalu berharga hanya untuk dibuang dengan sia-sia. Kaka sehat dan cantik. Di luar sana pasti banyak yang ingin menjadi seperti kaka. Jangan jadikan cinta sebagai sesuatu yang membuat kaka tak berdaya. Tapi, jadikan itu semangat untuk kaka bertahan hingga akhir.” Dia menatapku
“Akhir dimana, kita nanti akan hidup untuk selamanya.”


END





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Hanya Rangkaian Cerita yang Tak Tahu Akan Menjadi Apa

Aku Sedang Membaca Kata-kata Dalam Tempurung Kepalamu

CERPEN - Toples Selai Kacang