CERPEN
Hatiku
Bukan Batu
Oleh : Sintia NA
Aku
tidak pernah mengerti ini semua akhirnya harus terjadi. Dari sekian banyak
laki-laki yang aku kenal, kenapa harus dia yang mendapatkan separuh hatiku?
Aku
sama sekali tidak menginginkan jika hatiku harus terlukai pada akhirnya.
Namun,
siapa yang tahu pada siapa kita harus mempersembahkan cinta?
Mengabdikan
perasaan? Jika saja aku bisa memilih, namun sayangnya aku tidak diperkenankan
untuk itu.
****
“Maafin
aku. Tapi, aku bener-bener nggak bisa ninggalin dia gitu aja.” Wajahnya sangat
memelas, aku tak tega melihat itu sebenarnya. Bagaimanapun juga dia adalah
salah satu yang berarti dalam hidupku.
“Jadi,
di sini aku harus jadi yang terlukai ya? Kata kamu, kamu lebih mencintaiku
dibandingkan dia? Mana buktinya ? Pembohong!! Semua kata cinta yang kamu
katakana itu dusta.”
Aku
hendak beranjak, namun sebuah tangan menahan pergelangan tanganku.
“Aku
mohon tetap tinggal. Jangan tinggalin aku. Kamu penting buat aku.”
“Kalo
emang aku penting buat kamu, harusnya kamu bisa ninggalin dia,” tak terasa
cairan bening ini tiba-tiba saja merembas, “aku emang nggak lebih penting dari dia kan?”
Dia
bungkam. Beberapa detik aku menunggu, tapi, tak ada satu patah kata pun yang
keluar dari mulutnya. Aku tertawa hambar, memangnya apa yang aku harapkan?
“Baiklah, aku berhenti. Aku benar-benar lelah.
Kamu tahu aku nggak bisa ninggalin kamu. Tapi, jika keharusan ninggalin kamu bakalan buat aku bahagia. Kenapa nggak?
Meski aku tahu itu akan sulit. Tapi, aku akan tetap mencobanya. Semoga selalu
bahagia. Terimakasih karena telah hadir dalam hati serta hidupku. Meski itu
hanya menorehkan luka yang kentara.”
Aku
melepaskan tangannya. Berjalan tertatih dengan bulir-bulir yang sulit untuk
dihentikan.
Apa
perpisahan harus semenyakitkan ini?
******
******
Ini
sudah terhitung dua tahun kami tidak saling menyapa. Mungkin, lebih tepatnya
dia yang kutinggalkan. Aku menghindar dan melupakannya semampuku. Meski kenyataannya
waktu dua tahun belumlah cukup untuk mengikis habis perasaanku padanya. Hingga
akhirnya kami dipertemukan pada sebuah pertemuan yang tak terduga. Pada Sebuah
pernikahan adik kelas yang pernah aku sukai dulu. Dan adik kelasku merupakan
teman dekat dari adiknya. Dunia memang sangat sempit bukan? Kami bercerita
banyak hal, aku mencoba untuk berdamai dengan hatiku sendiri meski kenyataannya
memang tak mudah. Dari percakapan kami aku tahu, kini dia sendiri. Katanya
wanita itu telah menikah dengan laki-laki lain dan ia ditinggalkan. Dia juga
menghadiri acara pernikahan mantan wanitanya itu ucapnya. Aku tidak mengerti,
kenapa bisa dia benar-benar melakukan itu? Apa dia benar-benar tidak merasakan
apa-apa ketika wanita yang dicintainya harus bersanding dengan orang lain?
Atau, semalaman dia telah merenung dan menangis sejadi-jadinya makanya dia bisa
merelakan itu semua? Entahlah, aku sama sekali tak mengerti. Dipertemuan
singkat itu aku mulai menyadari. Nyatanya, aku tidak bisa semudah itu
mengenyahkan dia dari ingatan. Rasa ini masih sama, tidak bergerak sedikitpun.
Waktu
boleh saja membawamu pergi. Namun ia tetap tak bisa membuatmu berlalu.
*****
Ternyata benar. Semua yang aku terka-terka menjadi kenyataan. Setelah ia, wanita yang dicintainya pergi. Baru dia memintaku untuk bersanding dengannya. Melanjutkan kisah kita yang belum sempat dimulai namun lebih dulu berakhir. Aku menatapnya ragu. Mencari tahu apa maksud dari dia melakukan ini semua. Jika, ini adalah sebuah lelucon, itu sama sekali tidak lucu.
“Apa
yang kamu katakana?”
“Aku
sungguh-sungguh. Percayalah.” Suaranya bergetar menatapku penuh permohonan. Ia menggenggam
kedua tanganku menelungkupkan kepalanya di atas meja. Sebatang coklat di
sampingku seolah menjadi saksi tentang itu serta gerimis.
“Apa
kamu pikir, aku mau dijadikan pelampiasan dan persinggahan sesaat?”
Aku
mengalihkan pandangan. Bunga-bunga di sini memang sangat indah, rumah kaca yang
menakjubkan.
“Apa
yang harus aku lakuin agar kamu percaya? Aku minta maaf atas kejadian yang
lalu. Sungguh, aku bener-bener cinta sama kamu.”
Dia
mendongak, menatapku dengan beberapa jejak basah di sekitar matanya.
Dia
menangis? Aku tersenyum sinis dengan hati yang sedikit teriris. Meski air mata
yang ia keluarkan tidak seberapa dibandingkan dengan yang harus aku keluarkan.
Tapi, aku sama sekali tak tega melihatnya.
“Aku
perlu bukti.”
“Everything.
Sebutkan!”
“Aku
ingin kamu kuliah S2 di Hadvard. Setelah itu baru aku percaya kamu
sungguh-sungguh.”
“Tapi…..”
“Ya,
atau tidak.”
Dia
mengangguk. Aku tersenyum melihatnya. Aku tahu, sampai kapan pun dia memang tak
akan
pernah bisa menolak apa pun yang aku inginkan, sekali pun itu bertentangan dengan
hati dan keinginannya, tidak berubah. Aku bukannya gila kekuasaan atau gila
hormat. Tapi, aku tahu ibunya dari dulu ingin sekali melihat anaknya kuliah di
Hadvard. Namun anak lelakinya itu tidak pernah menurutinya sama sekali.
Baginya, mempunyai gelar S1 di Universitas ternama tanah air saja sudah cukup.
Aku memang sudah sangat dekat dengan ibunya, karena kami memang sudah
bersahabat sejak lama, saat kami masih berseragam abu – abu.
Sekarang,
kita hanya perlu melihat. Apakah lelaki sipit bernama Diar Anindra itu menepati
janjinya atau tidak. Hanya satu hal yang perlu kamu tahu Diar. Hatiku bukanlah
batu yang tidak bisa meraskan apa pun. Yang diperlakukan bagaimanapun hanya bisa
diam. Karena, memang begitulah takdirnya. Tidak bisa melawan, meskipun mungkin
dia ingin.
END
Komentar
Posting Komentar