CERPEN - Mading Sekolah

Mading Sekolah

Oleh : Sintia NA



Air mata adalah sumber ketulusan yang sesungguhnya,
ketika kita lelah menghadapi segalanya namun tetap berusaha.
Saat itulah keajaiban akan datang dan membantumu menghadapi semuanya.


*****

Aku tergesa berangkat ke sekolah. Semua karena tumpukkan kertas yang harus aku cetak terlebih dahulu, dan harus aku selesaikan hari ini juga. Menjadi ketua mading memang tidak semudah yang dikatakan kebanyakan orang, yang katanya hanya mencopot dan melepaskan tulisan saja. Kueratkan beberapa buku yang tidak muat ditampung dalam tas. Berjalan secepat yang aku bisa. Aku harus lebih dulu berada di sekolah dibandingkan siswa lain.
Tepat ketika jam menunjukkan pkl 07.10 aku berada di sekolah. Aku usap peluh yang membanjiri kening, mengatur napas sejenak sebelum memasuki gerbang.
Aku memicingkan mata ketika melihat seorang siswa yang berseragam sama denganku sudah berada di dalam gedung sekolah. Seingatku, tidak pernah ada yang sepagi ini datang ke sekolah selain aku. Aku buberlari untuk mengejarnya. Setelah langkah kami beriringan, kutepuk pundaknya pelan.
“Hey.” Ia menoleh dan tersenyum. Aku menyipitkan mata, wajah ini benar–benar asing. Apa benar dia salah satu murid di sekolah ini?

“Jangan memasang muka seperti itu. Aku siswa di sini juga. Itu yang ingin kau tanyakan padaku kan?” Dia menahan tawanya geli. Aku mengangguk, kemudian kembali bertanya,
“Tapi, aku tidak pernah melihatmu sebelumnya? Apa kamu anak baru?” tanyaku beruntun.
“Tidak, aku sudah lama di sini. Kamu mungkin tak pernah melihatku. Tapi aku selalu mengawasimu. Terima kasih.”
Setelah itu dia pergi. Melambaikan tangannya kemudian menghilang di balik lorong.

*****

“Apaan sih ini, sok banget. Nggak mutu deh ini artikel. Siapa sih yang milih dia jadi ketua mading sekolah?”
“Iya, siapa sih? Nggak mutu banget.”

Beberapa gerutuan siswa memasuki gendang telingaku. Selalu seperti ini setiap pagi.
Apapun yang ditempelkan pada mading sekolah akan dicemooh. Tak pernah dihargai sedikitpun, miris sekali melihatnya. Entah apa sebenarnya yang mereka pikirkan dan inginkan untuk aku isi di mading sekolah. Tidak dapat kupungkiri memang, cemoohan mereka selalu berhasil membuat semangatku berkurang drastis. Seberapa besar aku mencoba tegar rasa itu selalu ada ; sakit karena tidak dihargai. Saat aku berjalan gontai menuju kelas, seperti ada suara yang memanggilku. Tapi, aku tidak terlalu menanggapinya, mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku terus berjalan tanpa melihat ke belakang. Semakin lama suara itu semakin terasa dekat dan terdengar jelas.
Kubalikkan badan, dan seketika siluet pria berkemeja putih menghampiriku. Ternyata Pak guru.

“Hannali Pertiwi.” Pak guru menghampiriku lebih dekat.
“Iya pak, ada apa?”
Aku was-was menunggu jawaban darinya. Sungguh, aku berharap hari ini tak mendapakan masalah apapun.
“Kamu ditunggu kepala sekolah di ruangannya nanti, setelah istirahat.”
Sesuatu yang kucemaskan benar-benar terjadi. Ini bencana.
Hanya anggukan kepala yang aku gunakan untuk membalas perkataannya.
“Baiklah, saya permisi dulu Hanna. Semangat! You can do it.” Dia tersenyum meyakinkan.
Setiap orang seolah tahu apa yang akan terjadi ketika kepala sekolah telah memanggilku keruangannya. Aku cepat-cepat masuk kelas, bel tanda masuk lima menit lagi akan dibunyikan.

******

Aku menghela napas berat. Berdebat dengan kepala sekolah memang selalu melelahkan. Ada rasa bersalah yang tiba–tiba menyusup dalam dada karena belum bisa menepati janji pada kepala sekolah untuk membuat mading sekolah kembali diminati. Bukannya aku tak berusaha, aku sudah berusaha semampuku, tapi kenyataannya memang seperti ini.
Tanpa terasa aku berjalan, sampailah aku di depan sebuah mading berukuran 90 x 90 cm.
Mading ini bisa dikatakan mading yang sangat kokoh. Dari sekolah ini berdiri sampai sekarang belum pernah diganti. Entah itu kacanya atau pun kayunya.
Kupandangi mading ini lamat-lamat. Menyentuh kaca-kaca tebal yang melapisinya.
Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku berhenti menulis, sesuatu yang aku sukai dan membaginya? Menulis adalah caraku berbicara dengan dunia. Tapi, kenapa rasanya begitu sulit? Tak terasa air mata ini merembas ke luar.
Bolehkah aku lelah, Tuhan? Mereka selalu tak pernah menghargai kerja kerasku. Isakan- isakan pilu keluar tanpa bisa kucegah.

“Kamu berhak lelah. Tapi, jangan sekalipun kamu menyerah.”
Suara seorang wanita membuatku mendongak. Betapa terkejutnya aku, ketika mendapati wanita cantik bergaun kuning keemasan persis di hadapanku. Tapi tunggu, dia berada di dalam kaca mading? Aku mengernyit.
“Aku tahu, kamu pasti heran. Tapi, aku pun sama, manusia sepertimu. Hanya saja kita hidup di zaman yang berbeda.” Wanita itu kembali menyela “bukankah kamu heran. Kenapa mading ini tak pernah diganti meskipun umurnya telah bertahun-tahun? Sekarang kamu sudah mendapatkan jawabannya. Karena aku tinggal di sini. Maka akulah yang selalu merawatnya.”
“Tapi, bagaimana bisa kamu berada di sini. Di dalam sana?”
Akhirnya setelah lama berada dalam keterkejutan. Aku bisa bersuara juga.
“Dulu, sebelum sekolah ini di bangun. Tempat ini adalah padang rumut maha luas. Kala itu, aku dipaksa menjadi seorang Ratu oleh ibuku, aku menolaknya. Karena aku tahu, jika aku menjadi seorang ratu ibuku pasti akan menjadikanku bonekanya untuk menjahati rakyat. Ibuku adalah seorang penyihir yang menikahi seorang Raja dengan dua anak. Entah apa yang telah dilakukan ibuku hingga akulah yang dipilih Raja untuk menjadi Ratu. Ketika hari penobatanku datang, aku pergi dan berlari ke sini.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung bersembunyi di sini, di balik sebuah pohon. Aku tidak sempat berpikir. Kenapa harus ada satu pohon rindang yang besar di tengah-tengah padang rumput.
Dan ternyata itu bukanlah pohon biasa. Dia adalah manusia pohon yang menjaga padang rumput ini agar tak terjamah manusia. Kala itu ia sedang tertidur makanya lengah membiarkan aku dengan mudahnya masuk ke sini. Aku yang melanggarnya, akhirnya dikutuk dan dimasukkan pada sebuah kaca. Yah mading ini. Ketika aku masuk ke dalam kaca ini pohon itu pun musnah seketika.”
“Bisakah aku mempercayaimu? Lantas, kenapa kamu tidak mencoba untuk keluar dari mading ini? Bukankah kamu mempunyai kekuatan?”
“Itu hakmu mau percaya atau tidak. Tapi yang jelas aku akan membantumu. Aku tidak bisa berada di luar lebih dari setengah jam. Jika aku melanggarnya, tubuhku akan berubah menjadi abu. Bukankah kau ingin mading ini digemari seperti dulu? Tahu kah kamu, dulu pun aku pernah membantu seseorang yang sama sepertimu. Mempunyai hati tulus, untuk membuat mading ini banyak diminati. Aku bisa membuat tulisan yang tertempel pada mading ini seperti mempunyai kekuatan magis yang membuat orang-orang akan menyukainya.”
“Baiklah, aku percaya. Sebentar lagi bel masuk berbunyi. Nanti sebelum pulang sekolah, aku akan ke sini menemuimu. Jadi, bagaimana caranya aku bisa menemuimu lagi?”
“Panggil saja, Milion dan aku akan datang.”

*****

Setelah mengatakan pada Minar sahabatku aku tidak bisa pulang bersamanya dan memastikan ia telah menjauh dari sekolah, aku bergegas menuju mading sekolah.
Dengan langkah terburu-buru aku melangkah. Dari tadi perasaanku memang sudah tidak enak, seperti ada yang mengawasi semenjak bertemu dengan Milion.
“Milion, Milion.”
Aku ketuk kaca itu agak sedikit kencang.
“Kenapa, kau begitu ketakutan dan tergesa-gesa ?”
“Entahlah, seperti ada yang mengikuti. Dan itu membuatku sedikit merinding. Aku merasa sesuatu yang tidak menyenangkan sepertinya akan terjadi.”
Tepat setelah  kata itu terucap seseorang datang dengan tiba-tiba tanpa permisi.
“Well, akhirnya aku bisa melihatmu kembali, Milion. Ups, maksudku Nenek Milion. Ah tunggu masih pantaskah aku memanggilmu Nenek?” ia menyeringai.
Tunggu, orang ini bukankah.
“Kita berjumpa kembali, Hannali. Bukankah aku sudah mengatakannya. Bahwa aku selalu mengawasimu hem..? karena, kamu adalah kunci utamaku untuk bisa membuat Milion keluar dari tempat persembunyiannya ini.”
“Apa yang kamu inginkan, Purina? Sungguh aku tak tahu, jika ibuku akan menyihir dan mengutuk keluarga kalian kala itu.”
“Kamu tahu, Milion. Berkat kutukan ibumu itu tidak ada lagi keluarga kerajaan yang tersisa hingga detik ini, kecuali kau dan aku. Semunya mati ketika umur mereka menginjak tiga puluh tahun. Dan sebelum aku menyusul mereka, aku akan membalaskan dendam seluruh keluargaku padamu.”
Mata purina berapi-api, tercetak jelas bahwa dia sangat marah.
“Itu sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Maaf, jika semua itu membuatmu tersiksa,”
Milion mengucapkannya dengan sangat lirih. Tapi, Purina seolah buta dan tuli atas segala hal. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
“Hey tunggu. Apa yang akan kau lakukan dengan botol itu.”
Aku panik, jangan bilang kalau gadis itu akan menghancurkan mading ini.
“Cepat keluar, Milion. Atau kau mau, aku menyiksa Hannali.”
Dengan langkah cepat pergelangan tanganku ditarik olehnya. Mencekik leherku dengan sebelah tangan. Sedangkan tangan satunya lagi masih memegang botol itu, siap untuk memukulkannya pada kepalaku.
“Cepat, lepaskan dia,” Milion berseru marah.
“Apa kau kira aku bodoh,” ucapnya menyeringai, "keluar dulu dari sana, baru dia akan aku lepaskan."
“Baiklah, aku keluar.”
Seketika wujud Milion yang asli terpangpang jelas di hadapanku. Tubuhnya sangat ramping, rambutnya yang hitam ia ikat. Aku takjub melihatnya.
“Cepat lepaskan dia.”
“Pantangan bagiku, untuk mengingkari janji.”
Dengan berat hati Purina melepaskanku dari cengkramannya. Cengkramannya benar-benar kuat. Sulit dipercaya, padahal umurnya seperti tak beda jauh denganku tapi tenaganya besar sekali. Warna kemerahan terpangpang jelas di pergelangan tangan. Setelah cengkaraman itu terlepas. Aku seperti ditarik oleh sesuatu yang aku pun tak tahu itu apa. Tapi yang jelas aku tak bisa melawan sedikit pun.
“Dengar Hannali. Aku berikan semua kekuatanku pada jemari-jemarimu. Teruslah berbicara pada dunia melalui tulisanmu. Lakukan apa yang bisa membuat kamu bahagia. Kamu tak perlu takut, apa pun yang kamu tulis pasti akan banyak diminati. Itu adalah karunia Tuhan untuk orang sepertimu. Kita tak punya banyak waktu lagi.”
Kedua tanganku tiba-tiba bercahaya beberapa detik. Tanpa tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba Mading sekolah itu hancur. Sebelumnya sayup-sayup aku mendengar suara Milion ‘Aku senang bertemu denganmu, selamat timggal Hannali’
“Milion, benar-benar bodoh. Kenapa dia tak membunuhku saja. Karena alasanku untuk tetap hidup hingga detik ini adalah balas dendam padanya. Jika dia memilih untuk mati. Apa yang akan kulakukan?”
Ketika aku masih menatap nanar pecahan kaca di depanku, suara pecahan botol mengejutkanku. Purina membenturkan botol yang tidak bisa dikatakan kecil itu tepat di atas kepalanya. Aku tertegun dengan napas tercekat.
Beberapa detik yang lalu, aku baru menyaksikan kaca mading sekolah pecah bersama perginya Milon. Kini aku harus kembali melihat sesuatu yang benar-benar tak ingin kulihat. Darah membanjiri kepalanya hingga banyak yang menetes ke lantai, mengotori semua wajah serta seragamnya.
Tanpa menunggu lama, ia langsung ambruk. Napasku memburu. Dengan panik, kucek denyut nadinya. Berhenti, tak lagi berdenyut. Aku terduduk, menatap sendu ke arahnya.
Tak terasa air bening ini menetes, membanjiri pipi. Aku terisak pilu. Maaf aku yang tak bisa melakukan apa pun untukmu Milion dan terima kasih.


END



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Hanya Rangkaian Cerita yang Tak Tahu Akan Menjadi Apa

Aku Sedang Membaca Kata-kata Dalam Tempurung Kepalamu

CERPEN - Toples Selai Kacang