GWRF 2019 ( Event Kece Menjelang Hari Kemerdekaan )



Acara : GWRF 2019
Tempat : Perpustakaan Nasional RI ( Regional Jakarta )
Tanggal : 02-04 Agustus 2019






Bingung sih, sebenernya gimana mau mulainya, haha. Karena emang ga biasa gitu buat nulis artikel ( Keseringan nulis prosa soalnya, wkkwkw ) Tapi, ya. Karena pengen banget bagi-bagi ilmu, dan apa yang didapet pas acara tahunan yang dimulai dari 2018 itu oleh gramedia. Jadi, oke kita mulai aja ya.

Gramedia mengadakan event tahunan GWRF ( Gramedia Writers and Readers Forum ) yang dimulai sejak 2018 tahun lalu. Serangkaian acara untuk GWRF 2019 dimulai sejak tanggal 2 Agustus – 4 Agustus. Sebenernya, pengen banget dateng ke acaranya dari tanggal 2, cuman karena kendala kerjaan jadinya cuma bisa dateng di hari minggu. Gramedia kalo emang bikin event ga pernah tanggung-tanggung sih. Terbukti dari sederet nama yang mengisi beberapa event di sana. Seperti Ayu Utami yang kelasnya bisa diiukin pada hari jumat. Maman Suherman yang kelasnya ada di hari Sabtu. Dan Eyang Sapardi yang kelasnya di hari penutupan. Serta masih banyak lagi penulis kece yang ga bisa disebutin satu-satu.

Saya pribadi mengikuti dua kelas di hari Minggu, yaitu kelasnya Eyang Sapardi-Yudhistira Massardi, dan kelasnya mbak Henny Triskaidekaman-Rieke Saraswati.
Tapi, sayangnya nggak jadi ikut kelasnya Mbak Henny karena ada beberapa kendala.
Kelas Eyang Sapardi-Yudhistira di laksanakan dari jam 10.00-11.30 WIB. Sebelum kelas dimulai karena saya datang lebih awal ke tempat acara, saya jadi bisa foto bareng eyang. Ga nyangka juga eyang yang menurut saya sangat sibuk, datang tepat waktu ke acara, bahkan sepertinya beliau sudah berada di sana setengah jam sebelum acara.
Cuma sesi foto singkat, tapi seneng banget asli. Ya, gimana ga seneng ya kan. Ketemu salah satu master, Sastrawan terbaik yang Indonesia punya. Sebenernya pengen sharing-sharing lebih lanjut tapi malu juga, karena banyak yang antri pengen foto. Maklum sih, orang terkenal ya kan :D

Acara dimulai pukul 10.05 WIB. MC memulai dengan beberapa pertanyaan yang ia layangkan kepada narasumber, mengenai Prosa dan Puisi yang menjadi tema bahasan di kelas tersebut.

Eyang Sapardi Mengatakan, kurang lebih begini, “Ketika saya menulis puisi dan mengirimkan ke penerbit mereka mengatakan kalau itu novel, dan ketika saya mengirimkan cerpen mereka mengatakan itu puisi. Jadi, saya menyimpulkan. Kalau sekarang kita bahkan ga bisa bedain mana Prosa dan Puisi, tipis sekali bedanya. Daripada terus memikirkan apa yang ingin kita tulis, lebih baik kita menulis saja dulu, menulis apa yang kita inginkan. Untuk namanya apa biarkan pembaca yang menyimpulkan.”
Eyang melanjutkan, “Lagipula istilah puisi dan prosa itu kan bukan dari bangsa kita.”
Pak Yudhistira menambahkan, “Saya ingin sekali menulis novel. Sudah diniatkan berkali-kali. Tapi, tetap saja yang keluar malah puisi lagi puisi lagi. Jadi, untuk penulis pemula jangan menyerah. Tulis aja dulu ‘Suka-suka Gue’ jangan terlalu mikirin apa yang dikatakan orang.”


Eyang dan Pak Yudhistira juga mengatakan bagaimana sulitnya menjadi penulis di era meraka dulu. Bahkan eyang mengatakan jika ia ingin membaca sebuah cepen/puisi saja, iya harus berjalan atau naik sepeda sangat jauh, karena mendapatkan tulisan yang dimuat di surat kabar tidak mudah. Lalu, setelah mendapatkannya eyang merobeknya dengan silet baru bisa ia bawa pulang.
Menurut Pak Yudhistira, di era teknologi yang semakin canggih sekarang, anak zaman sekarang tak perlu lagi bersusah payah seperti mereka untuk mengaskses sebuah tulisan yang bagus, cukup saja menggunakan Hand Phone, dengan kuota hanya 5rbu kita bisa mengakses sebuah tulisan di mana pun dan kapan pun. Untuk menulis pun demikian karena di hp sudah tersedia berbagai aplikasi untuk menulis.

Saya tertegun sekaligus merasa tertampar amat keras mendengar penuturan mereka. Saya sangat malu. Mereka saja, yang bisa dibilang sudah sangat berumur masih produktif untuk meulis. Sedangkan anak muda seperti saya? Sering sekali malas, ada saja alasannya. Padahal salah satu cara untuk berkontribusi kepada bangsa ini adalah dengan menulis, menghasilkan, memberi sesuatu. Kita kan penerus bangsa. Sebab yang membuat seseorang tetap abadi adalah karyanya. Sesuatu yang dia hasilkan.
Lihat saja, seperti buku-bukunya eyang Pram. Beliau sudah meninggal lama sekali. Tapi, karyanya terus naik cetak, dan namanya terus dikenang. Karyanya terus dibaca orang-orang sampai sekarang.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Hanya Rangkaian Cerita yang Tak Tahu Akan Menjadi Apa

Aku Sedang Membaca Kata-kata Dalam Tempurung Kepalamu

CERPEN - Toples Selai Kacang