Badai September








Terima kasih, karena sempat hadir dan menetap memberikan kebahagiaan meski hanya sebentar. Hampir semua orang tidak menyukai sebuah perpisahan, tak terkecuali kita. Kita dipaksa untuk tidak saling mengungkapkan lagi apa yang kita rasakan di hari-hari esok. Tentang rindu, cemas, sesak, keinginan untuk saling memiliki. Berbalas pesan seperlunya tanpa menggunakan emoticon apa-apa. Kita menjadi dua manusia canggung, yang memilih untuk tidak bertatap muka untuk waktu yang lama. Bukan apa-apa, aku hanya belum siap bertatap muka dengan orang yang pernah benar-benar aku diskusikan dengan Rabb-ku pada malam-malamku. Yang ujung-ujungnya takdir memang harus memisahkan kita. Kamu dengan jalanmu dan aku dengan tujuanku.
Tentang perpisahan kita, aku tidak setangguh itu, untuk tidak menangis parah ketika melepaskan kepergianmu. Aku tetaplah seorang wanita yang dipaksa untuk melepaskan hal yang dia sayang ketika dia benar-benar menginginkan itu. Hanya saja, aku lebih memilih menyimpan kerapuhanku sendiri. Merelakanmu melenggang pergi.
Badai Septemberku, terjadi begitu cepat. Aku tidak mempersiapkan apa-apa, semua terjadi begitu saja. Perasaanku porak poranda, mataku sembap, dan hatiku berdenyut nyeri. Kekecewaan dan rasa sakit begitu cepat menjalar dalam hitungan detik. Rasanya, aku ingin menahanmu pergi. Tapi, katamu aku berhak untuk bahagia meski bukan denganmu. Apa boleh buat kita memang tidak di izinkan Tuhan, semesta, takdir, serta waktu untuk bersama.
Badai septemberku sudah berlalu, tapi kehilangannya masih terasa. Apakah kau juga merasakan badai yang sama parahnya denganku?


Karawang, 20 Desember 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Hanya Rangkaian Cerita yang Tak Tahu Akan Menjadi Apa

Aku Sedang Membaca Kata-kata Dalam Tempurung Kepalamu

CERPEN - Toples Selai Kacang