Gelombang di Dalam Tubuhmu





Gelombang di Dalam Tubuhmu

Oleh : Sintia NA

Tak ada yang lebih menyebalkan untuk dilakukan selain menunggu seseorang di bawah terik yang rasanya melubangi kepala. Cuaca di sini memang tak segersang ibu kota. Tapi, cukup untuk membuat jilbab yang digunakan perempuan berbaju serba coklat itu lepek. Dari gelagatnya ia ingin segera menceburkan diri ke dasar laut, naasnya hal itu tak mungkin bisa ia lakukan.
Dengan perasaan dongkol yang membuncah ia melirik ke sana-kemari, siapa tahu ia menemukan orang yang dicarinya segera.
Jika saja jarak dari tempat ia berdiri ke kampung halamannya itu hanya menempuh waktu sebentar dan ia tidak lupa jalan, sudah dipastikan sedari tadi ia menginjakan kakinya kembali di tanah Madura ia tidak akan menunggu lama. Perempuan itu kembali menghela napasnya, entah itu helaan napas yang keberapa di waktunya menunggu satu jam. Tepat di satu jam lebih 30 detik, seseorang yang ditunggunya akhirnya datang. Arumna, laki-laki sekaligus sepupunya itu hanya menggunakan kaos oblong dengan celana panjang kebesaran tak melebihi mata kaki. Arumna mengatur napasnya yang tersengal, sebelum berbicara dengan logat khas maduranya,
“Maaf membuatmu menunggu lama, Kasturi.”
Arumna membungkuk dalam sampai beberapa kali, hingga wanita yang dipanggil Kasturi itu melontarkan suaranya meski singkat. Arumna tahu sepupunya itu sedang marah, Kasturi memang berhak marah. Ini memang kesalahannya yang membuat Kasturi harus menunggu lama.
Dengan perasaan bersalah yang amat dalam Arumna mengekor perempuan di hadapannya tanpa bersuara sedikitpun.
“Ajak aku makan rujak cingur dan es kelapa, baru nantiku maafin.”
Arumna tertegun, tak lama ia tersenyum dengan cerah. Dengan semangat Arumna segera memimpin jalan, mencari tempat yang menyediakan makanan yang diinginkan sepupunya sembari menenteng tas. Ia terobos kerumunan, menengok beberapa kali ke belakang untuk sekedar memastikan apakah sepupunya itu masih mengikutinya atau tidak. Setelah 10 menit mereka mencari barulah tempat yang mereka cari diketemukan.
Kasturi segera saja mendudukan pantatnya di sana. Percakapan ringan terjadi di antara mereka sebelum makanan yang mereka pesan datang.
Kasturi menceritakan apa maksud kedatangannya ke sana dengan lebih terperinci selain untuk mengunjungi kampung halamannya. Keluarga intinya memang sudah pindah ke Surabaya 10 tahun yang lalu. Sedangkan semua sanak keluarganya masih betah berada di Madura, tepatnya di kabupaten sumenep kecamatan Dasuk desa Slopeng. Dia perlu melakukan beberapa riset untuk bahan ceritanya.
Kasturi memang seorang penulis lepas media cetak di kotanya. Beberapa cerita pendeknya sudah nangkring di sana. Itu hanya pekerjaan sampingannya sebagai anak semester 5 di salah satu universitas kenamaan Surabaya. Setiap kali cerpennya di muat di surat kabar dia mendapatkan fee yang tidak bisa dikatakan besar memang, tapi itu cukup untuk tidak meminta uang saku kepada orang tuanya.
Ditambah ia sudah lama sekali tidak berlibur dan itu sangat menjemukan. Kasturi sudah ada pada titik jenuh yang mengerikan. Saking mengerikannya, ia pernah tak mengerjakan tugas kampus ; hal yang baru dilakukannya sekali seumur hidupnya duduk di bangku perkuliahan.
Apalagi dia sangat merindukan pantainya yang indah. pantai Slopeng yang menjadi saksi bagaimana Kasturi menemukan cinta pertamanya. Saksi bisu atas perasaan yang dulu tak bisa ia tafsirkan sama sekali. Sebagian orang mungkin hanya menganggap itu sebagai cinta monyet. Tapi, kenyataannya perasaan itu tak pernah bisa ia kikis sedikitpun. Salah satu alasan yang membuatnya masih melajang sampai saat ini. Yang padahal, banyak pria yang mengungkapkan perasaan beberapa kali tapi tak pernah ada yang ia terima satu pun. Perasaan itu, seperti menancap sempurna dalam hatinya. Kasturi tertegun membayangkan itu, kemudian tersenyum.
Ia pun masih ingat betul, rasa pasir di kakinya. Bau-bau laut di indera penciumannya dan bagaimana dulu ia dan teman-temannya setiap pagi selalu mengumpulkan kerang-kerang untuk dijadikan aksesoris atau hanya sekedar bermain pasir di sana. Pulang ke rumah di saat matahari sudah di atas kepala. Sebenarnya ia dan teman-temannya masih sangat betah tak mau pulang. Tapi, ibunya selalu melarang jika siang masih di pantai. Katanya nanti kulitmu akan menghitam seperti arang. Tidak ada seorang pun anak perempuan yang mau menjadi bahan ledekan karena kulitnya seperti arang.
Kasturi meminum es kelapa yang berada di hadapannya, ia memejamkan mata menikmati setiap tetesan air dingin yang membasahi kerongkongannya. Sedari tadi saat menunggu sepupunya itu dahaganya memang sudah sangat haus, bekal yang dia bawa dari Surabaya sudah habis. Sedangkan kata orang tuanya, membeli makanan atau minuman di pinggir jalan, tempat ia menunggu Arumna pasti akan mahal, apalagi jika kita terlihat seperti pendatang.
Arumna, sepupu Kasturi itu akhirnya menjelaskan alasan apa yang membuatnya bisa terlambat seperti itu. Kasturi mendengarkan dengan seksama. Rasa kesal yang tadi maengendap di dadanya meluap seketika. Ia tersenyum manis, mengusap pundak kaka sepupunya itu sembari berkata tidak apa-apa.
Menu terakhir yang dia tunggu-tunggu dan mau mereka santap akhirnya tersedia juga. Rujak cingur favoritnya kini tersedia di depan mata. Yang membuatnya begitu merindukan makanan itu adalah, rujak cingur Madura beda dari yang lain. Dia sulit untuk mentafsirkannya seperti apa, yang jelas rasanya sangat khas. Mereka bercengkrama dengan begitu syahdu seperti romeo yang merindukan kehadiran Juliet. Tapi, memang mereka sedari kecil terbiasa bersama dan memang sangat dekat. Banyak hal yang bahkan hanya mereka berdua saja yang mengetahui.

****

Kasturi tak pernah membayangkan jika ia akan disambut semeriah ini. Rumah neneknya dipenuhi banyak orang. Kasturi sempat keheranan, apa acara penyambutannya memang semeriah itu. Maksudnya, rumah neneknya di rias sedemikian rupa oleh bunga-bunga yang tak bisa dikatakan sedikit. Seperti akan ada acara besar. Kasturi hendak ingin bertanya, namun sebelum itu neneknya telanjur memeluk dan bertanya banyak hal. Meski jujur ia sangat lelah, dari Surabaya melalui jalur darat menuju Madura tidak bisa dikatakan perjalanan yang singkat. Namun ia pun tak tega menolak dan mengabaikan neneknya. Ia tahu bagaimana rasanya rindu yang membuncah dan baru terselesaikan setelah sekian lama. Setelah puas menanyainya beberapa hal, nenek Kasturi memperkenalkan dirinya kepada sanak saudara yang lain termasuk ke tetangganya. Neneknya sangat bangga karena cucunya itu terkenal. Arumna yang menceritakan pada nenek kalau nama Kasturi terpang-pang di koran. Kasturi memang selalu mengirimkan koran yang memuat cerpennya ke Arumna. Meski mereka jauh, bahkan tak pernah bertemu dalam waktu yang lama namun tali silaturahmi itu tak pernah terputus sedikitpun. Arumna tetap menjadi seseorang yang selalu Kasturi cari dalam kondisi apapun.
Setelah melewati 5 jam yang melelahkan, akhirnya Kasturi bisa juga beristirahat. Pukul 8 malam Kasturi merebahkan tubuhnya yang seperti dipreteli di atas kasur kapuk. Baru 5 menit ia memejamkan mata, pintu kamarnya sudah diketuk. Dengan ogah-ogahan ia membuka pintu itu, menanyakan hal penting apa yang membuat pintu kamarnya diketuk malam-malam. Kasturi mengangguk, merapikan sedikit penampilannya, lantas tak lama menyusul berkumpul di ruang tengah.
Kasturi diminta untuk duduk di dekat kepala keluarga itu, yang berarti ayah Arumna. Ia mendengarkan dengan seksama penuturan para sesepuh di sana. Mereka menceramahi beberapa hal, salah satunya tentang Kasturi yang tak pernah mau mengunjungi mereka. Kasturi ingin mengklarifikasi tuduhan itu. Mereka mengatakan kalau anak zaman sekarang memang malu mengakui suku mereka sendiri, tak mau pulang ke kampung halaman. Padahal kenyataannya bukan seperti itu. Memang sudah 5 tahun ia tak mengunjungi tanah kelahiraannya. Tapi alasan sebenarnya adalah karena ia tak bisa bukannya tak ingin. Ada hal yang coba dia lupakan di kampung halamannya itu. Sesuatu yang sampai saat ini sebenarnya masih menggajal di hatinya.
Kasturi tiba-tiba reflek menutup mulutnya, Ia memutar bola matanya menyapu segala sudut pandang. Melihat satu persatu sanak keluarganya. Apa hal yang barusan ia dengar itu benar? Ia meminta penjelasan, hingga akhirnya mata itu terfokus di sana. Di mata seseorang yang sangat ia percayai dan sayangi, Arumna abangnya. Tapi, bukannya jawaban yang Kasturi dapatkan. Melainkan sebuah senyuman manis yang menurut Kasturi sangat absurd untuk diterjemahkan. Jadi, mempersiapkan acara yang dimaksudkan Arumna tadi itu adalah ini? Kasturi membatin.
Yang ia tak habis pikir, keluarganya setuju tentang rencana ini, tanpa meminta persetujuannya sama sekali. Apa mereka seyakin itu bahwa aku akan menerimanya? termasuk Ibu yang tidak memberitahukan apapun padanya. Ia harus bertunangan esok pagi? Batinnya kembali berkecamuk.

******

Seorang anak perempuan berambut sebahu yang setinggi dada orang dewasa itu menepuk-nepuk lututnya yang dipenuhi pasir. Ia terjatuh, saat sedang mengejar teman-temannya yang kini sudah meninggalkannya jauh di depan. Saat ia tengah asik membersihkan pasir diseluruh tubuhnya, sebuah tangan tahu-tahu berada di depan wajahnya. Anak itu melihat uluran tangan siapa itu, lantas mendongak. Beberapa menit pandangan mereka beradu. Terjadi jeda yang lumayan panjang. Anak laki-laki itu mengibas-ngibaskan tangannya. Dengan sedikit gelagap anak perempuan itu menyambut uluran tangannya tanpa sepatah kata pun. Anak perempuan itu hendak melontarkan kata terima kasih, namun anak laki-laki setinggi bahu orang dewasa itu telanjur berlari meninggalkan ia dengan napas yang masih menggantung di udara. Anak perempuan itu merasakan sejenak, saat tadi matanya bertubrukan dengan mata coklat seindah bulan purnama itu . Ia seperti merasakan gelombang maha dahsyat di dalam tubuhnya yang malah membuatnya tak bisa beranjak. Anak perempuan itu meraba jantungnya, degupannya memang kencang sekali.
Sedangkan di sisi lain, seorang anak laki-laki menggandeng tangan ibunya menyusuri pesisir pantai,
“Bu, nanti kalau udah besar aku mau nikah sama perempuan yang punya wajah selembut cahaya bulan.”

END


**** 
Note : Dilarang memplagiat dalam bentuk apa pun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Hanya Rangkaian Cerita yang Tak Tahu Akan Menjadi Apa

Aku Sedang Membaca Kata-kata Dalam Tempurung Kepalamu

CERPEN - Toples Selai Kacang