Kita Tidak Bisa Mengukur Kebahagiaan Seseorang Dari Apa yang Kita Punya



Aku menemukan kepalaku tersandung ingatan yang membuatnya kalang-kabut beberapa hari.
Ia meronta-ronta ingin segera bertemu seseorang yang katanya ingin menikahinya esok pagi, tapi tidak ditemukan dari angka di kalender berwarna hitam sampai merah.

Aku mendengar langkah kaki, Ibu datang dengan tergesa lalu memelukku dengan derai yang aku tidak tahu kenapa tiba-tiba mengalir dari matanya.
Ibu menatapku cemas, seolah aku telah melakukan kesalahan besar. Padahal aku tidak melakukan apa-apa, hanya tiga keramas dan mandi selama seminggu.
Kaka tertuaku tak kalah hebohnya ketika melihatku. Padahal dia baru saja sampai dari rumahnya di Semarang.

Aku menggeleng dengan keras, meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja.
Ibu mengajak kaka dan aku masuk, tapi sebelum kami bertiga memasuki palang pintu, aku membaui sesuatu yang aku hapal betul.
Tanpa ragu-ragu aku menengok ke belakang, ke arah jalan beraspal tempat berlalu-lalang hari-hari kenangan seseorang.

Aku menemukan dia di sana, sedang mengayuh sepeda tua berdebu dengan membonceng seseorang yang tidak lebih cantik dariku.
Aku terheran-heran, kenapa dia pergi untuk wanita yang tidak lebih sempurna. Dari pakaiannya saja aku tahu, wanita itu kampungan, dari keluarga biasa saja.
Aku menatap lekat kaka lelakiku,

"Ka, kenapa dia lebih memilih wanita itu dibandingkan denganku? Padahal orang buta saja bisa melihat siapa yang lebih sempurna,"ucapku pelan sambil mencengkram tangannya takut ambruk.

"Kita tidak bisa mengukur kebahagiaan seseorang dari apa yang kita punya, Dek. Dia mungkin memang bahagia dengan wanita itu, yang hidup sederhana. Yang menerima dia apa adanya."

Saat itu tiba-tiba duniaku hancur, semuanya gelap, dan aku tidak ingat apa-apa lagi.




Karawang, 11 Feb 2020
Sintia NA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Hanya Rangkaian Cerita yang Tak Tahu Akan Menjadi Apa

Aku Sedang Membaca Kata-kata Dalam Tempurung Kepalamu

CERPEN - Toples Selai Kacang