Pertikaian Kematian (Prolog)

Aku tidak pernah jujur terhadap apapun, termasuk padamu, bahkan saat aku melihatmu untuk terakhir kali.
Aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang membuatmu pergi dengan jelas, beberapa orang hanya mengatakan kamu terserang sebuah penyakit yang mematikan. Sampai-sampai jika ada orang yang menyebut nama penyakit itu, ia sama saja bunuh diri.

Aku awalnya tak percaya dengan semua hal itu, tapi setelah beberapa orang terdekatku melakukannya dan mengalami hal yang sama aku jadi mempercayainya.
Orang pintar yang berada di desa mengatakan jika penyakit ini tak ada obatnya, kita hanya bisa meminimalisir saja kemungkinannya, mengubur semua hal yang berkaitan dengannya sedalam mungkin, jangan sampai ada yang mengusik sedikitpun.

Aku mulai ngeri membayangkannya, sejak kapan penyakit itu ada dan siapa yang menularkannya aku tidak tahu, yang jelas saat ini kampung sedang geger karenanya.

"Warga diharap waspada serta jangan asal bicara, ucapan harus dijaga dengan baik jika tak ingin mati."  Itu yang pak RT katakan di balai desa kemarin saat rapat perihal keresahan warga.

Lebih dari apapun, aku lebih menghawatirkan bagaimana perasaanku setelah kepergianmu.
Aku merasa semakin bingung, apa sebenarnya yang harus aku ulur dari pertemuan-pertemuan kita dulu, apa sebenarnya yang membuatku ragu dan tak mau jujur padamu. Semakin memikirkannya kepalaku semakin berputar, aku terduduk di atas rumput basah yang beberapa hari ini diguyur hujan. Beberapa orang berteriak memanggilku, sebagian lagi menghampiriku dengan membawa payung,

"Neng, kunaon?" Aku hanya menggeleng.

Dua orang memapahku untuk pulang, aku mencoba untuk berdiri sekuat yang aku bisa. Di ujung jalan, aku menemukanmu tersenyum. Aku membelalak tak percaya, berkali-kali memfokuskan pandangan, mengelap wajah yang basah karena air hujan.
Kamu masih di sana, tersenyum padaku dengan sedikit menyeringai.



*****


Sintia NA
Cibitung, 21 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Hanya Rangkaian Cerita yang Tak Tahu Akan Menjadi Apa

Aku Sedang Membaca Kata-kata Dalam Tempurung Kepalamu

CERPEN - Toples Selai Kacang