Sekotak Rindu
Mungkin kamu mengingatnya, hanya saja aku tak tahu. Sedangkan aku mengingatnya dengan jelas, dan aku tahu kamu pasti tahu itu.
Waktu itu aku pernah sangat kaget, ketika kamu mengabariku lewat whatsapp. Seseorang yang selalu menjadi saingan terberat kita saat di sekolah dasar menikah secara tiba-tiba, yang padahal setauku dia masih duduk di kelas 2 SMA sepertiku.
Aku benar-benar tidak percaya awalnya. Bukan aku tidak percaya padamu, hanya saja ini seperti membalikkan logikaku. Kamu tahu sendiri, dia orang yang sangat pendiam, tak banyak tingkah seperti kita. Dia juga anak seorang guru yang dihormati, mana mungkin.
Saat aku pulang ke rumah mamah, kamu mengajakku untuk ke rumahnya, ingin membuktikan semua itu dan menegaskan bahwa apa yang kamu katakan benar.
Ketika kita sampai di rumahnya, aku bingung harus berkata apa. Wajah dia sangat pucat dan kurus. Jujur, aku ikut prihatin atas apa yang menimpanya.
Walau di masa sekolah dulu dia saingan kita dan agak menjengkelkan tapi aku sungguh-sungguh merasa kasihan melihatnya seperti itu.
Sejak itu, Ayahnya terkena struk dan Ibunya mulai sakit-sakitan. Di usia yang semuda itu dia harus menanggung hal berat sendiri.
"Makanya, masa muda juga harus digunain buat hal bermanfaat," ucapmu.
"Iya, kamu bener. Kalo udah kaya gini kan siapa yang bisa disalahkan."
Kita akhirnya sama-sama paham, latar belakang tidak menjamin baik atau buruknya seseorang. Mereka yang terlihat tak bisa melakukan apapun yang melanggar nyatanya jelas-jelas melakukannya.
"Jangan melihat seseorang dari luar. Tapi, pahami kepribadiannya," ucapku.
"Bener pisan. Kita yang pecicilan kaya gini malah suka dibilang gimana gitu ya."
"Kita? Sejak kapan?"
Aku hanya bisa tertawa jika mengingat itu. Sekotak rindu dalam kepalaku benar-benar ingin menemui pemiliknya. Sungguh, aku benar-benar merindukanmu sepupuku ❤
*****
Sintia yang lagi kangen
Cibitung, 23 Maret 2020
Komentar
Posting Komentar